Rabu, 14 Desember 2016

Tanvi Navilah

Nama               : Tanvi Navilah
NIM                : 1415201057
Jurusan            : Ahwal Asy Syakhsiyyah
Semester          : III/A
Bab Shalat Dua Hari Raya
A.     Hadits Takbir pada Shalat Hari Raya No 519
وعن عمر و بن شعيب عن ابيه عن جده رضى الله عنهم قال : نبئ الله صلى الله عليه وسلم ,, التكبير فى الفطر سبع فى الاولى وخمس فى الاخرى, والقراءة بعدهما كلتيهما,, اخرجه ابو داود , ونقل الترمذئ عن البخارئ تصحيحهز
Artinya:
“Dari Amru bin Syu’aib dari Ayahnya dari Kakeknya Radiyallahu’anhu bahwa Nabi Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda: “Takbir dalam Shalat hari raya fitri adalah tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali dalam rakaat kedua dan bacalah surat al-fatihah dan surah adalah setelah kedua-duanya.” Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi mengutipnya dari Shahih Bukhari.
B.     Biografi Perawi Hadits
Perawi hadits ini adalah Amru bin Syu’aib. Nama lengkapnya Abu Ibrahim ‘Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash. Beliau adalah seorang dari abdillah yang faqih, ia memeluk agam islam sebelum ayahnya, kemudian hijrah sebelum penaklukan mekah. Beliau seorang ahli ibadah yang Zuhud, banyak berpuasa dan Shalat, sambil menekuni hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Jumlah hadits yang beliau riwayatkan mencapai 700 hadits, sesudah minta izin Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk menulis, beliau mencatat hadits yang di dengarnya dari Nabi. Mengenai hal ini Abu Hurairah berkata: “tak ada seorangpun yang lebih hapal dariku mengenai hadits Rasulullah, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash. Karena mencatat sedang aku tidak”.
Sanad paling shahih yang berpangkal darinya ialah yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari Ayahnya dan kakeknya Abdullah. Beliau wafat pada tahun 63 H pada malam pengepungan Al-Fusthath.
C.     Sanad Hadits
Musaddad


Al-Mu’tamir


Abdullah bin Abdurahman Ath Thaifi
 



Amru bin Syu’aib
 



Abdullah bin Amr bin Ash


D.     Penjelasan Hadits
Makna Hadits
Bilangan witir mempunyai pengaruh yang besar dalam mengingat keesaan Allah
yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Bilangan tujuh mengandungi rahsia
besar di mana syariat Islam menjadikan bilangan takbir solat hari raya menjadi
ganjil. Syariat Islam menjadikannya pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali untuk
mengingatkan ada pekerjaan haji yang dilakukan sebanyak tujuh kali, iaitu tawaf,
sa’i dan melontar jumrah, yang kesemuanya dilakukan sebanyak tujuh kali. Di
samping itu, ia bertujuan membuat hati sentiasa rindu untuk mengerjakan ibadah
haji, kerana menghayati hari raya aidil adha mampu mengingatkan diri kepada
Allah yang telah menciptakan alam semesta ini melalui renungan terhadap semua
perbuatan-Nya seperti penciptaan tujuh langit, tujuh bumi, dan tujuh hari beserta
segala isinya. Hal ini mampu mengingatkan kepada Allah apabila dilakukan pada
hari raya aidil adha berbanding hari-hari biasa yang selainnya.
Kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah (s.a.w) dalam mensyariatkan segala
sesuatu selalunya mengambil berat kemudahan, kerana belas kasihan terhadap
umat ini. Antara kemudahan itu ialah bilangan rakaat kedua-dua solat hari raya
lebih diringankan berbanding rakaat yang pertama. Oleh kerana bilangan lima adalah bilangan yang mendekati angka tujuh, maka syariat Islam menetapkan
lima kali takbir untuk rakaat kedua kerana belas kasihan kepada umat ini sehingga
diharapkan mereka selalu dalam keadaan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
E.     Pendapat Ulama
Ibnu Rusyd mengatakan: mereka ulama beralih keadaan pendapat sahabat dalam masalah ini karena jelas tidak ada keterangan dari Nabi saw. Tentang masalah itu sedikitpun. Menurut As Shon’aniy bahwa Al-Uqailiy telah meriwayatkan dari Ahmad bin Hambal, bahwa dia berkata tidak ada hadits yang sohih yang diriwayatkan tentang takbir ini.
Ketauhilah! Bahwa hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan bahwa Nabi saw. Takbir pada rakaat pertama dari dua rakaat sholat hari raya itu, tujuh kali;  dan mungkin takbir tujuh kali itu termasuk takbiratul ihram dan mungkin juga selain takbiratul ihram. Yang paling jelas bahwa  takbir tujuh kali tidak termasuk takbiratul ihram. Mengenai takbir pada shalat hari raya ini terdapat perbedaan pendapat:
a.       Menurut keterangan dalam kitab “Al-Hudan Nabawiy : termasuk takbiratul ihram tetapi tidak mengemukakan dalil. Dan pada raka’at yang kedua lima kali takbir. Yang berpendapat demikian sekelompok ulama sahabat dan selainnya.
b.      Pendapat itu berbeda dengan pendapat ulama lain yang mengatakan: lima kali pada raka’at pertama dan empat kali pada raka’at yang kedua.
c.       Ada yang berpendapat: tiga kali pada raka’at pertama dan tiga kali pada raka’at kedua
d.      Ada yang mengatakan: enam kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua.
Menurut saya : yang paling dekat kebenaran ialah mengamalka hadits bab ini (yaitu hadits yang mengatakan tujuh kali takbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua.
Dalam dalil tersebut terdapat dalil yang menunjukan bacaal Al-Fatihah dan surat, setelah takbir dalam dua raka’at itu. Demikian menurut pendapat syafi’iy dan Malik.
            Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukan bacaan Al-Fatihah dan surat itu, sebelum takbir pada kedua rakaat itu. Dia hanya mengemukakan pendapat dalam kitab “Al Bahru”
            Al baqir  dan Abu Hanifah mengatakan : didahulukan takbir pada raka’at pertama dan dikemudiankan pada raka’at kedua, agar bacaan al-fatihah dan surat itu berurutan dengan bacaan pada raka’at pertama.

FikihHadits
1. Disunatkan bertakbir dalam solat dua hari raya, iaitu pada rakaat pertama
sebanyak tujuh kali takbir, sedangkan pada rakaat kedua lima kali takbir.
Imam Malik dan Imam Ahmad berkata: “Pada rakaat pertama takbir
dilakukan sebanyak tujuh kali termasuk takbiratul ihram, sedangkan pada
rakaat kedua takbir dilakukan sebanyak lima kali selain takbir berdiri.”
Imam al-Syafi’i berkata: “Takbir dilakukan sebanyak tujuh kali pada rakaat
pertama selain takbiratul ihram dan pada rakaat kedua lima kali takbir selain
takbir berdiri.” Imam Abu Hanifah berkata: “Empat kali takbir termasuk
takbiratul ihram pada rakaat pertama dan takbir rukuk pada rakaat kedua tetap dikira empat takbir itu.” Adapun kesinambungan dalam membaca takbir-takbir tersebut, maka Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa hendaklah seseorag melakukannya secara berkesinambungan tanpa memisahkannya dengan zikir ataupun bacaan doa dan hendaklah imam berdiam sekejap menunggu para makmum menyelesaikan bacaan takbirnay.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad pula berpendapat bahwa antara setiap takbir hendaklah dipisahkan dengan waktu yang kadarnya lebih kurang sama dengan membaca satu ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek. Murid-murid al-Syafi’i berbeda pendapat  mengenai bacaan yang seharusnya dibaca dalam waktu berdiam itu. Kebanyakan mereka menyatakan bahwa waktu berdiam itu hendaklah diisi dengan bacaan: subhanallahi wal khamdulillahi wala ila haillallahu wallahuakbar.
Artinya: “Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha besar.” Sebagian mereka pula mengatakan bahwa bacaan itu ialah: lailahaillallahu wahdahulasyarikallahulmulku walahulkhamdu wahua’alakullisyaingqodir.”
Artinya: “Tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Mazhab Hambali pula mengatakan bahwa kalimat yang dibaca ketika berdiam itu ialah:
Allahuakbarkabirawalkhamdulillahikatsirowasubkhanallahibukhratawaasila washolallahu’alamukhammadinnabiyyi waalihi wasallama taslimangkatsira
Artinya:
“Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang berlimpah, dan Maha Suci Allah pada waktu pagi dan waktu petang, semoga Allah melimpahkan salawat-Nya ke atas Nabi Muhammad serta keluarganya, semoga pula keselamatan Allah senantiasa melimpah kepadanya,.”
Jumhur Ulama mengatakan bahwa setiap kali membaca takbir, kedua-dua tangan mestilah diangkat. Abu Yusuf mengatakan bahwa kedua-dua tangan tidak boleh diangkat melainkan hanya ketika takbiratul ihram. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari pada Imam Malik seperti mana yang telah diriwayatkan pula oleh Ibn Mutharrif dari pada Imam Malik bahwa disunatkan mengangkat kedua-dua tangan setiap kali membaca takbir. Dalam riwayat lain yang bersumber dari pada Imam Malik disebutkan bahwa seseorang boleh memilih mana yang dia sukai. Hukum takbir ketika mengerjakan sholat hari raya menurut pendapat jumhur ulama adalah sunat, sedangkan menurut mazhab Hanafi adalah wajib, dimana seseorang berdosa apabila meninggalkannya dengan sengaja, seseorang yang meninggalkan bacaan takbir itu atau sebagian dari padanya karena lupa, maka ulama berbeda pandangan dalam masalah ini: mazhab al-Syafi’i dan Mazhab Hambali menyatakan bahwa apabila seseorang meninggalkannya hingga selesai bacaan Al-Qur’an, dia tidak boleh mengulanginya semua dan tidak perlu pula melakukan sujud sahwi. Mazhab Maliki menegaskan bahwa apabila seseorang lupa hingga tidak membaca takbir hingga selesai bacaan al-Qur’an, sedangkan dia masih belum rukuk, maka dia dibolehkan melakukan takbir, kemudian melakukan sujud sahwi sesudah salam. Ini karena setiap takbir dari pada takbir-takbir sholat hari raya merupakan sunat mu’akad. Jika seseorang ingat setelah melakukan rukuk, maka hendaklah ia meneruskan sholatnya. Jika dia sebagai imam, maka hendaklah melakukan sujud sahwi sesudah salam dan begitu pula seseorang yang mengerjakan sholat secara bersendirian.
Mazhab Hanafi menatakan bahwa seandainya seseorang meninggalkan takbir hingga selesai bacaan al-Qur’an, namun dia baru mengingatinya ketika sedang rukuk, maka dia boleh membaca takbir dalam keadaan rukuk itu. Jika mengingatinya setelah mengangkat tubuh dari pada rukuk, maka hendaklah dia melakukan sujud sahwi sebagai penggantinya karena orang itu telah melalaikan suatu yang wajib.
2. Membaca al-Qur’an pada Shalat hari raya. Menurut jumhur ulma, ia dilakukan sesudah membaca takbir pada kedua-dua rakaat tersebut. Imam Abu Hanifah menegaskan bahwa seseorang hendaklah meneruskan kedua-dua bacaan itu secara berkesinambungan. Dengan arti kata lain, dia melakukan takbir pada rakaat pertama, lalu membaca al-Qur’an dan pada rakaat yang kedua, dia terus membaca al-Qur’an dan setelah itu barulah melakukan takbir. Beliau mengatakan bahwa takbir merupakan pujian, sedangkan pujian yang disyariaatkan pada rakaat pertama mendahului bacaan al-Qur’an dan doa iftitah sedangkan pada rakaat kedua disyariatkan mengakhirkannya sama halnya dengan qunut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar