Rabu, 14 Desember 2016

Fitriana

Tugas Terstruktur Hadits Ahkam
Kitab Shiyam
(Bulughul Maram)
Hadits No. 671
Nama                        : Fitriana
NIM                          : 1415201021
Jurusan / Semester    : AAS-A / III (Tiga)
Kelompok                  : IV (Empat)

َوَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: ( فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا  لَهُ  ثَلَاثِينَ ) . وَلِلْبُخَارِيِّ: ( فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ ) 
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari."
Kata-Kata Penting : وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Bukhari
Sumber            : Bukhari
Kitab               : Shaum
Bab                  : Disebut ramadhan / bulan ramadhan?
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada saya Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepada saya Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bahwa Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) ". Dan berkata, selainnya dari Al Laits telah menceritakan kepada saya 'Uqail dan Yunus: "Ini maksudnya untuk hilal bulan Ramadhan".

Kajian Sanad

Jalur Sanad ke-1

Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail


Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab


Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab


Uqail bin Khalid bin ‘Uqail


Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman

Yahya bin ‘Abdullah bin Bukair

Jalur Sanad ke-2

Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail


Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab


Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab


Uqail bin Khalid bin ‘Uqail


Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman

Nama tidak diketahui

Jalur Sanad ke-3

Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail


Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab


Muhammad bin Muslim bin ‘Abdullah bin Syihab


Yunus bin Yazid bin Abi An Najjad


Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman

Nama tidak diketahui
Keterangan Sanad:
Jalur Sanad ke-1
  • Nama Lengkap            : Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail
  • Kalangan                     : Shahabat
  • Kuniyah                      : Abu 'Abdur Rahman
  • Negeri semasa hidup   : Madinah
  • Wafat                          : 73 H
ULAMA
KOMENTAR
Ibnu Hajar Al Atsqalani
Shahabat
Adz Dzahabi
Shahabat

  • Nama Lengkap             : Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab
  • Kalangan                     : Tabi'in kalangan pertengahan
  • Kuniyah                       : Abu 'Umar
  • Negeri semasa hidup   : Madinah
  • Wafat                          : 106 H
ULAMA
KOMENTAR
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Muhammad bin Sa'd
Tsiqah
Al 'Ajli
Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Tsabat 'Abid Fadil
Ibnu Hajar al 'Asqalani
salah Satu Ahli fikih yg tujuh

  • Nama Lengkap            : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin
  'Abdullah bin Syihab
  • Kalangan                     : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
  • Kuniyah                      : Abu Bakar
  • Negeri semasa hidup   : Madinah
  • Wafat                         : 124 H

ULAMA
KOMENTAR
Ibnu Hajar al 'Asqalani
faqih hafidz mutqin
Adz Dzahabi
seorang tokoh

  • Nama Lengkap            : Uqail bin Khalid bin 'Uqail
  • Kalangan                     : Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
  • Kuniyah                      : Abu Khalid
  • Negeri semasa hidup   : Syam
  • Wafat                          : 144 H
ULAMA
KOMENTAR
Ahmad bin Hambal
Tsiqah
An Nasa'i
Tsiqah
Abu Zur'ah
shaduuq tsiqah
Abu Hatim
la ba`sa bih
Al 'Ajli
Tsiqah
Al 'Uqaili
Shaduuq
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'Ats Tsiqat

  • Nama Lengkap            : Laits bin Sa'ad bin 'Abdur Rahman
  • Kalangan                     : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
  • Kuniyah                      : Abu Al Harits
  • Negeri semasa hidup   : Maru
  • Wafat                          : 175 H
ULAMA
KOMENTAR
Yahya bin Ma'in
Tsiqah
Ahmad bin Hambal
Tsiqah
Abu Zur'ah
Tsiqah
Muhammad bin Sa'd
Tsiqah
Ibnu Madini
Tsiqah Tsabat

  • Nama Lengkap            : Yahya bin 'Abdullah bin Bukair
  • Kalangan                     : Tabi'ul Atba' kalangan tua
  • Kuniyah                      : Abu Zakariya
  • Negeri semasa hidup   : Maru
  • Wafat                          : 231 H
ULAMA
KOMENTAR
An Nasa'i
dla'if
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
As Saji
Shaduuq
Al Khalili
Tsiqah
Ibnu Qani'
Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Tsiqah
Adz Dzahabi
Hafizh

Hadits Penguat
Sumber            : Muslim
Kitab               : Puasa
Bab                  : Wajibnya puasa ramadhan karena melihat hilal & berbuka karena
  melihat hilal
No. Hadits      : 1799

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata, telah menceritakan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian melihat HIlal, maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (terbit) kembali, maka berbukalah, namun bila ia tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah (bilangan harinya)."

Jumlah Hadist Penguat

No
Imam
Jumlah
1
Ahmad
7
2
Darimi
1
3
Ibnu Majah
2
4
Muslim
3
5
Nasa'i
5
TOTAL
18

Permasalahan Fiqh :
Keadaan dimana pada malam 29 Sya’ban hilal tidak terlihat dikarenakan mendung, awan, asap, atau yang semisalnya sehingga menggenapkan atau menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari disebut dengan istilahikmal.
1.     Pendapat yang mashur dari Iman Ahmad Rahimahullah, beliau berpendapat wajib berpuasa ketika itu dengan keyakinan telah masuk Ramadhan. Beliau juga berhujah dengan hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas dengan lafadz
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
”Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah ”,
Menurut beliau makna “faqduruulah” adalah ”persempitlah” yakni mempersempit bulan Sya’ban cukup dengan 29 hari saja dan keesokan harinya sudah memasuki bulan Ramadhan. Beliau juga berhujah dengan perbuatan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu dan sebagian sahabat yang lain.
2.      Pendapat selanjutnya adalah apabila keadaanya mendung  maka dikembalikan kepada keputusan penguasa atau pemerintah dalam hal puasa dan hari raya.
Argumentasi yang dibawakan oleh pendapat yang pertama ini dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang lainnya, bahwa pengertian ”faqduruulah” ialah dikira-kirakan dalam sisi hisabnya atau hitungan bilangan Syaban yakni digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini dijelaskan dengan riwayat yang sama dari hadis Abdullah bin Umar  Radhiyallahu ‘anhu dan juga dikuatkan dengan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: “Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 672). Adapun yang meraka nukil dari perbuatan sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhumamaka jawabannya ialah mengikuti kaidah bahwa yang dianggap atau yang dijadikan pegangan ialah apa yang diriwayatkan oleh sahabat tadi bukan pendapat sahabat tadi, sebab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan hadis dari Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan makna pendapat jumhur ulama, sedangkan pendapat beliau sendiri pendapatnya tidak sesuai dengan riwayat yang beliau bawakan.
Pendapat jumhur ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, SyaikhulIslam Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahullah, Al Imam Ibnu Abdil HadiRahimahullah, Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, Al Imam As Shon’aniRahimahullah, Al Imam As Syaukani Rahimahullah,  dan lain-lainnya dari kalangan ulama kaum muslimin.

SEPUTAR RU’YATUL HILAL DAN HISAB

Kalau kita lihat di sini tidak ada satu pendapat pun dari pendapat-pendapat yang dsebutkan tadi yang mengatakan kalau terjadi mendung maka dilakukan hisab. Tidak ada satu ulama pun yang menoleh atau membicarakan masalah hisab dalam hal ini melainkan tiga pendapat di atas. Disyariatkan untuk melihat hilal (bulan sabit) untuk menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Ini adalah salah satu prinsip kaum muslimin, salah satu prinsip agama Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini didasarkan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala ,

* * štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?
ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ

"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” [QS. Al Baqarah (2) : 189]
Juga berdasarkan hadis-hadis shahih, di antaranya,
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata:Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Ramadan), maka hendaklah engkau memulai puasa. Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Syawal), maka hendaklah engkau berhenti puasa. Dan apabila tertutup awan, maka hendaklah engkau berpuasa selama 30 hari. (HR. Muslim no. 1808 )
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi (Abul Qasim) bersabda, ‘Berpuasalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari.'” (HR. Bukhari no. 924)
Dari ayat dan hadis-hadis tersebut sangat jelaslah bahwa penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dikaitkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ru’yatul hilal (melihat hilal/bulan sabit). Hal ini tidak hanya disabdakan tetapi juga dipraktikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Abu Dawud, Hakim, dan Ibnu Majah dengan sanad shahih dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengkisahkan,

َ وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Orang-orang melihat hilal, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum. Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban. (Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 673).
Juga hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu,
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sungguh aku telah melihat hilal”. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia berkata: “Ya”. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?” Ia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sedang An Nasa’i menilainya mursal.
Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga diamalkan oleh para sahabat, padahal pada waku itu ilmu perbintangan/ilmu nujun/ilmu falak sangat mashur. Mereka sangat terbiasa menggunakan bintang untuk menunjuk arah termasuk arah kiblat dan yang semisalnya. Namun hal ini (penggunaah ilmu nujum/ilmu hisab) tidak ditoleh sama sekali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau menggunakan cara ru’yatul hilal. Hal ini menunjukkan suatu ketetapan baku dari sunnah (red-perbuatan Rosulullah bukan hukumnya sunah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal menggunakan cara ru’yatul hilal bukan hisab.
Begitu juga dengan para ulama,  meraka menyatakan larangan untuk menggunakan hisab dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.  Diantaranya yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Baari. Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah berkomentar tentang hisab, beliau mengatakan,
”Madzhabnya ahli nujum atau ahli hisab ialah madzhab yang bathil. Syariat islam telah melarang kita untuk berjalan-jalan dalam mempelajari ilmu nujum (ilmu perbintangan)  sebab yang namanya ilmu nujum itu hanyalah praduga (prakiraan) dan tidak ada kepastian di dalamnya.” Ilmu nujum adalah ilmu yang berdasarkan prasangka atau perkiraan saja di mana tidak ada kepastian di dalamnya.
Islam telah melarang kaum muslimin untuk beragama seperti ini sehingga Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah madzhab yang bathil. Al Imam Ibnu Daqiq al-‘Id Rahimahullah, seorang ulama besar dari Mesir pada jamannya, beliau mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi pegangan dalam urusan puasa. Beliau juga mengatakan bahwa mengganggap hisab dalam puasa Ramadhan atau Idul Fitri berarti mengada-adakan syariat baru yang tidak diijinkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Begitu juga dengan imam madzhab yang empat juga kesemuanya menggunakan ru’yatul hilal. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Malik dan Imam Syafi’i Rahimakumullah semuanya sepakat penggunaan metode ru’yatul hilal dan menolak penggunaan metode hisab dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, yang berada di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, mengeluarkan fatwa ketika ditanya tentang masalah hisab. Setelah menjabarkan panjang lebar, pada kesimpulannya mereka mengatakan bahwa merujuk kepada ilmu nujum di dalam menetapkan bulan-bulan hijriah, di dalam menetapkan awal atau akhir ibadah dengan tanpa mengamalkan ru’yatul hilal merupakan kebidahan yang tidak ada kebaikannya sama sekali dan tidak ada sandaran syariatnya sama sekali”.
Syaikh Ibnu Hutsaimin Rahimahullah, Syaikh Al Albani Rahimahullah dan ulama-ulama besar lainnya sekarang ini juga mengatakan dan memfatwakan hal yang sama. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bolehnya menggunakan hisab.

Apa hukumnya menggunakan teropong ketika Ru’yatul hilal?

Untuk masalah ini Lajnah Daimah, juga fatwa Syaikh Ibnu Hutsaimin Rahimahullahmengatakan bahwa menggunakan teropong untuk memperjelas hilal diperbolehkan, akan tetapi tidak wajib sebab dhohir hadis tentang masalah hilal itu dengan mata kepala. Namun kalau menggunakan teropong supaya lebih jelas, maka tidak mengapa karena tidak melanggar. Hal ini termasuk dalam kaidah besar para ulama yaitu bahwa yang namanya wasilah (media atau perantara) tidaklah mengapa.

Perbedaan Pendapat dari Kalangan Ormas Islam
Meskipun memilki dasar yang sama, tetapi penafsiran Ormas Islam bisa berbeda-beda. Seperti :
1)      Dari ahli falakiyah Nahdhatul Ulama (NU). Dalam setiap Sidang Itsbat, mereka selalu bersuara keras dalam menetapi metode Rukyatul Hilal dengan kaidah Imkanur Rukyah (posibilitas melihat hilal). Kalau hilal belum memungkinkan dilihat, berarti tidak ada hilal, meskipun secara hisab hilal sudah dianggap ada. Mereka beralasan dengan kalimat dalam hadits di atas, “Fa in ghumma ‘alaikum” (jika hilal itu terhalang atas kalian oleh awan). Jadi, meskipun hilal itu sudah ada, sudah bisa dilihat, tetapi jika terhalang mata kita untuk melihatnya karena berbagai faktor (misalnya tertutup awan), ya bilangan bulan digenapkan jadi 30 hari. Artinya, menurut kalangan NU adanya hilal itu bukan penentu, melainkan posibilitas dilihatnya hilal-lah yang menjadi patokan.
2)      Dari kalangan Muhammadiyah paling sering (dan konsisten) dengan metode hisab. Tetapi metode ini sendiri tetap mengacu kepada penampakan hilal, sebagaimana acuan umum kalender Hijriyah. Artinya, mereka tetap berpendapat berdasarkan ada tidaknya hilal. Hal itu dianggap tetap selaras dengan hadits Nabi Saw di atas. Dalam hal ini, mereka memulai dan mengakhiri Ramadhan tetap mengacu pada hilal. Hanya saja, bentuknya berupa wujudul hilal (atau eksistensi hilal). Jika hilal sudah eksis, meskipun hanya 0,5 derajat di atas ufuk, ya hal itu sudah dianggap masuk bulan baru (padahal menurut para ahli astronomi nasional dan internasional, hilal pada posisi 4 atau 5 derajat di atas ufuk pun, masih sulit dilihat). Dalam pandangan ini, di masa Nabi Saw sarana-prasarana teknologi masih sederhana, sehingga metodenya dengan Rukyatul Hilal murni. Sebagai catatan, di masa Nabi belum ada sistem kalender. Jika kemudian ada sarana teknologi yang lebih akurat (sistem perhitungan astronomi), mengapa tidak digunakan? Toh, pada dasarnya Islam mengakui adanya metode hisab.
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ  
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S Yunus [10] : 5).
3)      Pandangan yang dianut Departemen Agama RI, yaitu menerapkan dua metode sekaligus, Hisabiyah dan Ru’yatul Hilal. Perhitungan hisab sangat dibutuhkan untuk memastikan bulan Sya’ban sudah berusia 29 hari, sehingga di masa itu ada potensi peralihan ke bulan berikutnya, nah, saat peralihan itulah momen paling tepat untuk melakukan Ru’yatul Hilal. Tanpa hasil hisab, sangat sulit menentukan kapan kita akan melakukan Ru’yatul Hilal. Sementara upaya ru’yah sendiri untuk memastikan apakah sudah masuk bulan Ramadhan / Syawal, atau bulan sebelumnya perlu digenapkan? Dari sini saja sudah bisa dilihat kerumitan perselisihan ini. Apalagi dalam praktiknya, upaya Rukyatul Hilal melibatkan observasi terhadap elemen-elemen alam yang berbeda-beda. Kadang bulan ada di sisi kanan atau kiri matahari; kadang sudut antara bulan dan matahari berbeda-beda; kadang usia hilal berbeda-beda; kadang ketinggian hilal di atas ufuk berbeda, dan seterusnya.
(Jadi sangat simplisit kalau ada yang mengatakan: “Mataharinya satu, bulannya satu, mata kita yang melihat; tetapi kenapa ya kok berbeda-beda hasil penglihatannya? Siapa yang salah? Mata kita atau benda-benda langit yang ada disana?” Perbedaan-perbedaan pandangan seputar penentuan awal Ramadhan dan Syawal ini berdasarkan teori maupun praktik selama ini, dalam skala nasional maupun internasional jika dikumpulkan, ternyata memang, ruang lingkup ikhtilaf dalam hal ini sangatlah rumit. Tidak sesederhana klaim-klaim retorik yang dibangun berbagai pihak selama ini.
Setidaknya disini ada 7 pola perbedaan pandangan, yang nantinya semua itu akan berpengaruh pada penentuan awal dan akhir Ramadhan (atau awal Syawal), yaitu sebagai berikut:
a)      Perbedaan antara golongan Rukyat dan Hisab. Ini adalah perbedaan paling elementer. Satu pihak ada yang berpegang kepada metode hisabiyah (seperti Muhammadiyah), dan ada yang berpegang kepada metode rukyat (seperti NU).
b)      Perbedaan persepsi tentang hilal itu sendiri, antara pihak yang mengacu kepada pedoman Wujudul Hilal (eksistensi hilal) dan Imkanur Ru’yah (mungkin-tidaknya hilal itu bisa dilihat oleh mata). Sebagian kalangan, melalui metode hisabiyah, berpatokan jika hilal sudah ada meskipun hanya 0,5 derajat di atas ufuk, berarti sudah masuk bulan baru. Kalangan lain berpedoman, meskipun hilal secara kalkulasi hisabiyah sudah ada, kalau ia belum bisa dilihat, maka tidak dianggap sudah ada. Seperti kata hikmah, “Wujuduhu ka ‘adamihi” (adanya hilal, seperti tidak adanya saja).
c)      Perbedaan antara metode rukyat lokal (nasional) dan rukyat global. Kalangan Hizbut Tahrir meyakini adanya kaidah rukyat global, makanya mereka sering mengadakan Shalat Idul Adha dengan melihat momen Wukuf di ‘Arafah. Kalangan Pemerintah RI menetapi model rukyat nasional. Sedangkan kawan-kawan Salafi merujuk kepada hadits “Apakah tidak cukup dengan rukyat Muawiyah”. Dengan hadits terakhir, kawan-kawan Salafi berpandangan bahwa kita tidak harus mengikuti Saudi, tetapi setiap negara punya rukyat sendiri-sendiri.

Kalau konsisten dengan hadits “rukyat Muawiyah” itu, mestinya mereka harus melakukan rukyat di setiap provinsi. Mengapa? Karena waktu itu di zaman para Shahabat, sesuai isi hadits tersebut, Madinah punya rukyat sendiri, Syam juga punya rukyat sendiri (rukyat Muawiyah dan masyarakat Syam).

d)     Perbedaan antara mengikuti keputusan pemerintah atau menentukan keputusan sendiri. Muhammadiyah jelas mandiri dan setia dengan hisab-nya. NU, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah, Wahdah Islamiyah, dll. mengikuti ketetapan pemerintah. Pihak yang mengikuti pemerintah berdalil dengan prinsip: “Hukmul qadhi yar’faul khilaf” (keputusan hukum oleh hakim mengangkat segala perselisihan). Bilamana terjadi berbagai perselisihan, maka tempat bermuaranya keputusan akhir, ialah mengikuti keputusan pemerintah. Tapi cara demikian mendapatkan kritik, yaitu ketika metode pemerintah dianggap formalitas, dari tahun ke tahun sama saja; sehingga disimpulkan mereka cenderung mengikuti kalender, dengan mengabaikan Sunnah (Ru’yatul Hilal). Disini keputusan hakim Syariat bisa ditaati, selama tidak mematikan Syariat itu sendiri.
e)      Perbedaan antara mengikuti Arab Saudi atau memutuskan sendiri. Keputusan Pemerintah Saudi sering menjadi patokan. Bukan hanya di Indonesia, di Timur Tengah pun banyak negara-negara disana menanti hasil pengumuman Ru’yatul Hilal pemerintah Saudi. Hizbut Tahrir sendiri melakukan tabanni (adopsi) terhadap hasil keputusan Kerajaan Saudi. Sedangkan kawan-kawan Salafi bersikukuh dengan hadits “Apakah tidak cukup dengan rukyat Muawiyah”; konsekuensinya, mereka mendukung penetapan awal Ramadhan/Syawal sesuai negara masing-masing.
f)       Perbedaan dalam menggunakan metode kombinasi Hisab-Rukyat. Sebagian kelompok meyakini, hisab sebagai pokok metode, sedangkan rukyat sebagai penguat (konfirmasi). Sebagian yang lain meyakini, rukyat sebagai pokok metode, sementara hisab sebagai penguat (konfirmasi). Melalui momen Sidang Itsbat Depag RI, metode yang dipilih ialah yang kedua: rukyat sebagai pedoman pokok, hisab sebagai penjelas. Muhammadiyah menerapkan metode pertama. Apa tidak mungkin memakai rukyat murni, tanpa bantuan hisab sama sekali? Secara ekstrim bisa saja dianggap mungkin, tapi dalam konteks modern hal semacam itu hampir mustahil dilakukan. Para ahli rukyat di dunia, betatapun tidak bisa melepaskan diri dari hasil-hasil perhitungan hisab. “Jadi, tolonglah jangan terlalu sensi,” begitulah ungkapannya.
g)      Perbedaan antara mencukupkan diri dengan metode keagamaan murni atau dengan bantuan teknologi astronomi. Ada dua nama pakar astronomi nasional yang selalu “menjadi langganan media” jika muncul khilaf seputar penentuan awal Ramadhan/Syawal ini, yaitu Prof. Dr. Thomas Djamaluddin dan Dr. Moeji Rahardjo (Kepala Observatorium Boscha Lembang). Kalangan Muslim tradisionalis cenderung berpedoman kepada sarana-sarana ilmu keagamaan murni, sedangkan yang modern bersikap welcome terhadap pemanfaatan sarana teknologi.
KESIMPULAN :
Jadi silang-selisih seputar penentuan awal Ramadhan / Syawal ini begitu komplek, melibatkan banyak unsur-unsur perbedaan. Siapa saja yang melihat masalah ini secara simple, dia akan salah menyimpulkan. Pertanyaannya, mengapa di negara-negara lain seperti Malaysia, Brunei, Saudi, Mesir, dan lainnya mereka lebih mudah bersepakat; sedangkan kita hampir setiap tahun berbeda pendapat terus?
Jawabannya: Yang bisa mengatasi perbedaan ini ialah sikap tegas negara. Hal itu pernah terjadi di masa-masa kita dulu di era Orde Baru. Tetapi syaratnya, negara disini harus kuat dan berwibawa, agar dihargai rakyatnya. Sementara sejak Reformasi 1998, kewibawaan pemerintah RI sudah sangat merosot. Pemerintahan RI seringkali dikalahkan oleh opini media, sikap partai politik, dan sikap independen ormas-ormas. Bagaimana negara akan bersikap tegas di atas ikhtilaf yang rumit, sementara dirinya sendiri tidak berwibawa? Tapi di masa Rasulullah Saw dulu, meskipun sistem tata-negaranya masih sederhana, disana posisi pemerintah begitu kuat, sehingga bisa mengatasi segala perbedaan. Nah itulah, dimana negara berwibawa, keputusan-keputusannya akan ditaati. Kalau negaranya slengehan atau mencla-mencle, siapa yang akan mentaati? Kewibawaan pemerintah sangat penting, kalau para pemimpin politik memahami hal itu.
Lalu, bagaimana sikap ketika dihadapkan pada “rutinitas” perbedaan seputar penentuan awal Ramadhan/Syawal ini?
  1.  Selalu merujuk kepada hasil rukyat hilal (observasi hilal), sesuai Sunnah Nabi Saw dalam hadits di atas. Karena kami belum mampu melakukan rukyat sendiri, otomatis kami menanti hasil rukyat dari pihak-pihak yang kompeten.
  2. Untuk mengawali Ramadhan, rata-rata kami merujuk kepada hasil Sidang Itsbat Departemen Agama RI. Menurut kami, mereka memiliki metode yang kredibel. Tetapi untuk mengakhiri shaum Ramadhan, kami tidak selalu mengikuti hasil Sidang Itsbat Departemen Agama RI (dijelaskan di poin berikutnya).
  3. Untuk mengakhiri shaum Ramadhan, kami seringkali menghitung jumlah puasa yang sudah kami lakukan. Kalau hitungan sudah mencapai 29 hari, kami bersiap-siap membatalkan puasa esok harinya. Dalilnya, sebagian besar puasa Rasulullah Saw dan para Shahabat adalah 29 hari. Untuk memastikan apakah besok kami membatalkan puasa atau tidak, tetap menunggu informasi seputar Rukyatul Hilal.
Kejadian yang sering terjadi, kami sudah puasa 29 hari, lalu Sidang Itsbat Depag RI menentukan puasa digenapkan menjadi 30 hari; lalu ada informasi independen yang mengatakan, bahwa hilal sudah terlihat di daerah tertentu. Jika demikian, maka kami biasanya akan membatalkan shaum pada hari ke-30. Jadi cukup berpuasa 29 hari saja. Mengapa demikian? Karena sudah dikenal di Indonesia, hasil Sidang Itsbat rata-rata nanti akan berujung ISTIKMAL (menggenapkan bulan sebelumnya). Namun jika tidak ada informasi satu pun seputar hasil Rukyat Hilal, kami akhirnya kembali ke keputusan Sidang Itsbat pemerintah.
Dalil yang menjadi acuan kami adalah perkataan AisyahRadhiyallahu ‘Anha, bahwa Nabi Saw jika berhadapan dengan dua perkara yang sama-sama halalnya, beliau memilih perkara yang paling ringan. (Merujuk Riyadhus Shalihin Imam Nawawi, bab “Sikap sederhana dalam ketaatan”). Jika berpuasa 29 hari halal, dan 30 hari juga halal, maka memilih yang lebih ringan dari keduanya lebih sesuai Sunnah Nabi Saw. Tetapi dengan tetap merujuk informasi Rukyatul Hilal, sebab itu patokan utamanya.
  1. Tetap memberikan toleransi dan menghormati saudara-saudara sesama Muslim dan ormas Islam yang berbeda dalam momen Idul Fithri-nya. Kadang, saat kami sudah berbuka, kaum Muslimin lain masih shaum; saat mereka menjalankan Shalat Id, kami sendiri sudah melaksanakan pada hari sebelumnya.

Perbedaan pendapat dalam penentuan awal Ramadhan / Syawal sungguh rumit dan komplek. Unsur-unsur disparitas di dalamnya begitu banyak. Hal seperti ini bisa diatasi, jika pemerintah memiliki wibawa sehingga bisa bersikap tegas. Maksudnya, mereka telah menunaikan hak-hak rakyat dengan baik, lalu wibawa mereka tinggi di mata rakyat; sehingga jika mereka memutuskan sesuatu, rata-rata didukung rakyat.
Sementara kita tahu sendiri, bagaimana keadaan bangsa Indonesia, pasca Reformasi 1998 sampai era Liberalisme saat ini? Jadi, sumber perbedaan itu memang sudah ada pada metodologi ilmiah Hisab-Rukyat; lalu ditambah kelemahan wibawa pemerintah. Itulah yang membuat perselisihan ini terus berlangsung. Tampaknya sangat sulit berharap semua ini akan selesai dan tuntas begitu saja. Potensi perbedaan di masa depan akan senantiasa ada, sebaimana perbedaan itu sudah terjadi sejak zaman ulama-ulama Salaf dulu. Maka kami sangat berharap kaum Muslimin dalam hal ini bersikap bijaksana, yaitu antara lain:
1)      Menyadari bahwa perbedaan ini ada dan nyata, lalu kita ikhlas dengan hal itu. Biarlah Allah Ta’ala yang nanti akan menyelesaikan semua ini, dengan rahmat dan ‘inayah-Nya.
2)      Mengambil sikap untuk memilih pendapat ini atau itu, secara sadar, yaitu dengan dalil-dalil ilmu dan informasi. Dalil ilmu maksudnya ialah ilmu-ilmu Syariat; sedangkan informasi ialah berita seputar perkembangan Rukyatul Hilal.
3)      Bersikap toleran, lapang dada, dan menghormati sesama Muslim yang berbeda pendapat. Tidak menjadikan sikap memilih suatu pendapat sebagai sarana untuk merendahkan atau melecehkan pihak lain.
4)      Berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar kaum Muslimin disatukan di atas Tali Persatuan Ummat. Amin Allahumma amin.

Pendapat Penulis

Dalam penentuan hilal tentu mengalami perbedaan pendapat, terlebih di Indonesia yang sangat rumit perbedaannya, namun walau bagaimanapun tetaplah dikembalikan kepada ketegasan Negara juga. Dan hal ini juga bergantung terhadap keyakinan yang kita miliki, selain itu, kita juga harus bisa memahami suatu perbedaan. Tak ada yang dikatakan “kolot” disini, yang membedakan hanyalah cara dan pandangan dalam menentukan dan melihat hilal. Tapi semua itu, tetaplah bergantung pada keyakinan dan pemahaman kita masing-masing.

1 komentar:

  1. Mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan.. Bantu perbaiki yaa hhe

    BalasHapus