َوَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ ) يَعْنِي
قَاطِعَ رَحِمٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1484
Dari Jubair Ibnu Muth'im
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali
kekerabatan." Muttafaq Alaihi.
Tafsir Hadits
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Bakrah bahwasanya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :
«مَا مِنْ ذَنْبٍ
أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ
مَا أَخَّرَ اللَّهُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ قَطِيعَةِ الرَّحِمِ»
"Tidak ada satu dosa pun yang paling pantas dipercepat Allah
Ta’ala siksaannya semasa di dunia terhadap si pelaku dan siksaan yang telah
disediakan Allah untuknya pada hari akhirat melebihi dosa memutus tali
silaturrahmi.” [Shahih Abu Dawud (4902)]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad dari hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
«إنَّ أَعْمَالَ
أُمَّتِي تُعْرَضُ عَشِيَّةَ الْخَمِيسِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلَا يُقْبَلُ
عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ»
"Sesungguhnya amalan umatku akan diajukan pada setiap kamis
petang yakni malam jum'at dan amalan orang yang memutuskan tali silatur rahmi
tidak akan diterima.”
Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam kitab tersebut dari hadits Ibnu
Abi Aufa bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
«إنَّ الرَّحْمَةَ لَا تَنْزِلُ عَلَى
قَوْمٍ فِيهِمْ قَاطِعُ رَحِمٍ»
"Sesungguhnya rahmat tidak akan turun kepada kaum yang di
tengah-tengah mereka terdapat seorang yang memutuskan tali silaturahmi.”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
«إنَّ أَبْوَابَ
السَّمَاءِ مُغْلَقَةٌ دُونَ قَاطِعِ الرَّحِمِ»
"Sesungguhnya pintu-pintu langit ditutup bagi orang yang
memutuskan tali silaturahmi."
Ketahuilah bahwa para ulama berselisih pendapat dalam menentukan
batasan kerabat yang wajib untuk disambung tali silaturahminya dan haram
memutuskan hubungan silaturahmi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan kerabat di sini adalah kerabat yang haram dinikahi. Seandainya
salah seorang mereka laki-laki maka haram dinikahi dengan wanitanya.
Berdasarkan pendapat ini berarti anak-anak paman dan anak-anak bibi tidak
termasuk dalam kewajiban tersebut. Bagi yang berpegang dengan pendapat ini,
mereka berdalilkan hadits yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang
wanita dan bibinya sekaligus, alasannya karena hal itu dapat memutus hubungan
silaturahmi.
Ada yang berpendapat bahwa kerabat di sini adalah kerabat yang
mendapat jatah harta waris. Pendapat ini berdalilkan dengan sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, "...kemudian yang terdekat denganmu dan yang
terdekat denganmu."
Ada juga yang berpendapat: semua yang ada hubungan kekerabatan,
baik yang termasuk ahli waris maupun tidak.
Adapun Al-Qadhi Iyadh, beliau menyatakan bahwa hukum silaturahmi
memiliki tingkatan-tingkatan, yang satu lebih tinggi dibandingkan yang lain dan
tingkatan yang paling rendah adalah tidak memboikotnya dan menyambung
silaturahmi dengan mengajaknya berbicara walaupun hanya sekadar mengucapkan
salam. Jadi, perkara ini berbeda-beda hukumnya sesuai dengan tingkat kemampuan
dan keperluan yang ada. Sebagian ada yang hukumnya wajib dan ada pula yang
hukumnya mustahab. Yakni andaikata seseorang telah menyambung sebagian tali
silaturahminya, sementara tujuan silaturahmi tersebut belum tercapai, maka
orang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai seorang yang memutus hubungan
silaturahmi. Kemudian berkenaan dengan silaturahmi yang hukumnya wajib, jika
seseorang belum memenuhi kewajiban tersebut, maka orang ini tidak disebut
sebagai seorang yang menyambungkan tali silaturahmi.
Imam Al-Qurthubi mengatakan, "Tali silaturahmi yang perlu
untuk disambung ada yang sifatnya umum dan ada juga yang sifatnya khusus."
Yang umum adalah tali silaturahmi antara sesama muslim. Wajib menyambungnya
dengan cara saling menyayangi, nasehat-menasehati, bersikap adil, insaf,
memenuhi hak yang wajib dan yang mustahab. Adapun silaturahmi dalam arti khusus
memberi nafkah kepada karib kerabat, peduli dengan mereka dan saling melupakan
akan kekeliruan mereka.
Ibnu Abi Jamrah berkata, "Definisi yang paling komplek dalam
mencakup makna silaturahmi adalah memberikan kebaikan yang layak untuk
diberikan dan semaksimal mungkin mencegah segala bentuk kejelekan sesuai dengan
kemampuan yang ada. Ini semua berkaitan dengan hak-hak sesama muslim. Adapun
untuk orang-orang non muslim dan fasiq maka wajib memutuskan hubungan dengan
mereka apabila dengan cara nasehat tidak lagi mampu mengubah mereka.
Para ulama juga berselisih pendapat: kapankah seseorang dikatakan
telah memutuskan tali silaturahmi? Az-Zainul Iraqi berkata, "Seseorang
dikatakan telah memutuskan tali silaturahmi ketika ia melakukan suatu perbuatan
jelek kepada kerabat." Ada juga yang berpendapat, "Ketika ia tidak
berbuat baik kepada kerabat, karena hadits-hadits yang ada mencantumkan
perintah untuk menghubungkannya dan larangan untuk memutuskannya, tidak ada
altematif lain selain kedua makna ini."
Menyambung tali silaturahmi merupakan salah satu bentuk perbuatan
yang baik, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama dan memutuskannya
berarti salah satu bentuk perbuatan yang buruk. Yakni tidak berbuat baik kepada
kerabat. Adapun yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ
الْوَاصِلَ الَّذِي إذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»
"Tidaklah disebut menyambung silaturahmi jika seseorang
menyambung tali persaudaraan yang memang masih tersambung, akan tetapi yang
disebut menyambung tali silaturahmi adalah seseorang menyambung tali
persaudaraan yang sempat terputus.”[shahih: At Tirmidzi 1908]
Zhahir hadits menunjukkan bahwa silaturahmi adalah menyambung tali
persaudaraan yang pernah putus. Sebab di dalam riwayat lain tercantum dengan
Lafazh qatha'at dalam bentuk kata aktif (ma'lum).
Ibnul 'Arabi di dalam syarahnya berkata, "Maksudnya adalah
seorang yang menyambung tali persaudaraan dengan sempurna." Ath- Thibbi
berkata, "Tidak disebut menyambung tali silaturahmi jika orang lain
menyambung silaturahmi kepada dirinya lantas ia menimpalinya dengan perbuatan
yang sama. Akan tetapi, maksudnya adalah mereka yang memberikan kebaikan yang
lebih dibanding kebaikan yang telah diberikan kepada dirinya."
Penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, "Tidak bersilaturahmi
bukan berarti orang tersebut telah memutus silaturahmi, sebab mereka ada tiga
tingkatan: 1) Waashil, 2) Mukaafi', 3) Qaathi'.
-
Waashil
adalah orang yang memberikan kebaikan melebihi apa yang dilakukan orang kepada
dirinya.
-
Mukaafi'
adalah orang yang memberikan kebaikan setara dengan kebaikan yang telah
diberikan kepada dirinya.
-
Qaathi'
adalah orang yang memberikan kebaikan lebih sedikit dari kebaikan yang telah ia
dapatkan.
Syarih berkata, "Pendapat yang paling kuat tentang masalah
qaathi' adalah orang yang memberikan kebaikan lebih sedikit daripada kebaikan
yang telah ia terima dan ia sendiri tidak pernah memberikan sesuatu yang lebih.
Penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, "Sebagaimana yang
terjadi pada realita yang ada, bahwa silaturahmi terjadi pada kedua belah
pihak, demikian juga halnya memutus silaturahmi juga terjadi pada kedua belah
pihak. Barangsiapa yang memulai, maka dialah yang disebut pemutus tali
silaturahmi. Bagi yang membalasnya dengan sikap yang sama, maka ia termasuk
dalam kategori mukaafi'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar