Selasa, 13 Desember 2016

Akhmad Nur Istain

َوَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ )  يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Hadits No. 1484  
 Dari Jubair Ibnu Muth'im Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali kekerabatan." Muttafaq Alaihi.

Tafsir Hadits
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :

«مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا أَخَّرَ اللَّهُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ قَطِيعَةِ الرَّحِمِ»

"Tidak ada satu dosa pun yang paling pantas dipercepat Allah Ta’ala siksaannya semasa di dunia terhadap si pelaku dan siksaan yang telah disediakan Allah untuknya pada hari akhirat melebihi dosa memutus tali silaturrahmi.” [Shahih Abu Dawud (4902)]

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

«إنَّ أَعْمَالَ أُمَّتِي تُعْرَضُ عَشِيَّةَ الْخَمِيسِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلَا يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ»

"Sesungguhnya amalan umatku akan diajukan pada setiap kamis petang yakni malam jum'at dan amalan orang yang memutuskan tali silatur rahmi tidak akan diterima.”

Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam kitab tersebut dari hadits Ibnu Abi Aufa bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

«إنَّ الرَّحْمَةَ لَا تَنْزِلُ عَلَى قَوْمٍ فِيهِمْ قَاطِعُ رَحِمٍ»

"Sesungguhnya rahmat tidak akan turun kepada kaum yang di tengah-tengah mereka terdapat seorang yang memutuskan tali silaturahmi.”

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

«إنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ مُغْلَقَةٌ دُونَ قَاطِعِ الرَّحِمِ»

"Sesungguhnya pintu-pintu langit ditutup bagi orang yang memutuskan tali silaturahmi."

Ketahuilah bahwa para ulama berselisih pendapat dalam menentukan batasan kerabat yang wajib untuk disambung tali silaturahminya dan haram memutuskan hubungan silaturahmi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kerabat di sini adalah kerabat yang haram dinikahi. Seandainya salah seorang mereka laki-laki maka haram dinikahi dengan wanitanya. Berdasarkan pendapat ini berarti anak-anak paman dan anak-anak bibi tidak termasuk dalam kewajiban tersebut. Bagi yang berpegang dengan pendapat ini, mereka berdalilkan hadits yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus, alasannya karena hal itu dapat memutus hubungan silaturahmi.

Ada yang berpendapat bahwa kerabat di sini adalah kerabat yang mendapat jatah harta waris. Pendapat ini berdalilkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "...kemudian yang terdekat denganmu dan yang terdekat denganmu." 

Ada juga yang berpendapat: semua yang ada hubungan kekerabatan, baik yang termasuk ahli waris maupun tidak.

Adapun Al-Qadhi Iyadh, beliau menyatakan bahwa hukum silaturahmi memiliki tingkatan-tingkatan, yang satu lebih tinggi dibandingkan yang lain dan tingkatan yang paling rendah adalah tidak memboikotnya dan menyambung silaturahmi dengan mengajaknya berbicara walaupun hanya sekadar mengucapkan salam. Jadi, perkara ini berbeda-beda hukumnya sesuai dengan tingkat kemampuan dan keperluan yang ada. Sebagian ada yang hukumnya wajib dan ada pula yang hukumnya mustahab. Yakni andaikata seseorang telah menyambung sebagian tali silaturahminya, sementara tujuan silaturahmi tersebut belum tercapai, maka orang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai seorang yang memutus hubungan silaturahmi. Kemudian berkenaan dengan silaturahmi yang hukumnya wajib, jika seseorang belum memenuhi kewajiban tersebut, maka orang ini tidak disebut sebagai seorang yang menyambungkan tali silaturahmi.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, "Tali silaturahmi yang perlu untuk disambung ada yang sifatnya umum dan ada juga yang sifatnya khusus." Yang umum adalah tali silaturahmi antara sesama muslim. Wajib menyambungnya dengan cara saling menyayangi, nasehat-menasehati, bersikap adil, insaf, memenuhi hak yang wajib dan yang mustahab. Adapun silaturahmi dalam arti khusus memberi nafkah kepada karib kerabat, peduli dengan mereka dan saling melupakan akan kekeliruan mereka.
Ibnu Abi Jamrah berkata, "Definisi yang paling komplek dalam mencakup makna silaturahmi adalah memberikan kebaikan yang layak untuk diberikan dan semaksimal mungkin mencegah segala bentuk kejelekan sesuai dengan kemampuan yang ada. Ini semua berkaitan dengan hak-hak sesama muslim. Adapun untuk orang-orang non muslim dan fasiq maka wajib memutuskan hubungan dengan mereka apabila dengan cara nasehat tidak lagi mampu mengubah mereka.

Para ulama juga berselisih pendapat: kapankah seseorang dikatakan telah memutuskan tali silaturahmi? Az-Zainul Iraqi berkata, "Seseorang dikatakan telah memutuskan tali silaturahmi ketika ia melakukan suatu perbuatan jelek kepada kerabat." Ada juga yang berpendapat, "Ketika ia tidak berbuat baik kepada kerabat, karena hadits-hadits yang ada mencantumkan perintah untuk menghubungkannya dan larangan untuk memutuskannya, tidak ada altematif lain selain kedua makna ini."

Menyambung tali silaturahmi merupakan salah satu bentuk perbuatan yang baik, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama dan memutuskannya berarti salah satu bentuk perbuatan yang buruk. Yakni tidak berbuat baik kepada kerabat. Adapun yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»

"Tidaklah disebut menyambung silaturahmi jika seseorang menyambung tali persaudaraan yang memang masih tersambung, akan tetapi yang disebut menyambung tali silaturahmi adalah seseorang menyambung tali persaudaraan yang sempat terputus.”[shahih: At Tirmidzi 1908]

Zhahir hadits menunjukkan bahwa silaturahmi adalah menyambung tali persaudaraan yang pernah putus. Sebab di dalam riwayat lain tercantum dengan Lafazh qatha'at dalam bentuk kata aktif (ma'lum).

Ibnul 'Arabi di dalam syarahnya berkata, "Maksudnya adalah seorang yang menyambung tali persaudaraan dengan sempurna." Ath- Thibbi berkata, "Tidak disebut menyambung tali silaturahmi jika orang lain menyambung silaturahmi kepada dirinya lantas ia menimpalinya dengan perbuatan yang sama. Akan tetapi, maksudnya adalah mereka yang memberikan kebaikan yang lebih dibanding kebaikan yang telah diberikan kepada dirinya."

Penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, "Tidak bersilaturahmi bukan berarti orang tersebut telah memutus silaturahmi, sebab mereka ada tiga tingkatan: 1) Waashil, 2) Mukaafi', 3) Qaathi'.

-          Waashil adalah orang yang memberikan kebaikan melebihi apa yang dilakukan orang kepada dirinya.
-          Mukaafi' adalah orang yang memberikan kebaikan setara dengan kebaikan yang telah diberikan kepada dirinya.
-          Qaathi' adalah orang yang memberikan kebaikan lebih sedikit dari kebaikan yang telah ia dapatkan.

Syarih berkata, "Pendapat yang paling kuat tentang masalah qaathi' adalah orang yang memberikan kebaikan lebih sedikit daripada kebaikan yang telah ia terima dan ia sendiri tidak pernah memberikan sesuatu yang lebih.


Penulis (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, "Sebagaimana yang terjadi pada realita yang ada, bahwa silaturahmi terjadi pada kedua belah pihak, demikian juga halnya memutus silaturahmi juga terjadi pada kedua belah pihak. Barangsiapa yang memulai, maka dialah yang disebut pemutus tali silaturahmi. Bagi yang membalasnya dengan sikap yang sama, maka ia termasuk dalam kategori mukaafi'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar