Nama : Mohammad Nafiudin
Nim :
1415201035
Smt / Jurusan : III / Aas a
Study : Hadist Ahkam
وَعَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «الْيَدُ
الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ
الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ،
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،
وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Artinya : Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan
mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah
yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga
kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup
maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”
Hadits ini terdapat dalam kitab “Bulugh
al-maroom min adillah al ahkam” nomor 653. Dalam Bab Shodaqoh Tathowwu’.
Kalo kita melihat lafadz متفق عليه berarti hadits ini disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim, tetapi yang lafadz yang dicantumkan atau ditulis milik riwayat Imam
Bukori dengan nomer hadits
1427-1428 jilid 3 halam 294.
TINJAUAN SANAD
أخرجه البخاري في كتاب : الزكاة ، باب : لا صدقة إلا عن ظهر غنى 3/294(1427-1428) ،
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ،
حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ
ـ رضى الله عنه ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
. وَعَنْ وُهَيْبٍ،
قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
ـ رضى الله عنه ـ بِهَذَا.
" الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ
السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى،
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ "
Hadits ini dalam riwayat Imam Bukhori memiliki
dua jalur periwayatan :
1.
Menceritakan musa bin ismail,
menceritakan wuhaib, menceritakan hisyam dari bapaknya hisyam dari hakiem bin
hizaam (1427)
2.
Dari Wuhaib, mengabarkan hisyam,
dari bapaknya hisyam dari abu Hurairah (1428)
Urutan
|
Riwayat 1
|
Riyawat 2
|
1
|
Nabi SAW
|
Nabi SAW
|
2
|
Hakiem Bin hizaam
|
Abu Hurairah
|
3
|
Bapaknya Hisyam
|
Bapaknya Hakiem (Hizam)
|
4
|
Hisyam
|
Hisyam
|
5
|
Wuhaib
|
Wuhaib
|
6
|
Musa bin Ismail
|
Bukhori
|
7
|
Bukhori
|
|
Dalam riwayat Imam
muslim kita hanya menemukan satu jalur periwayan yaitu pada hadits nomor 1034
1034 حدثنا محمد بن بشار ومحمد بن حاتم وأحمد بن عبدة جميعا عن يحيى القطان قال ابن بشار حدثنا يحيى حدثنا
عمرو بن عثمان قال سمعت موسى بن طلحة يحدث أن حكيم بن حزام حدثه ((أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أفضل الصدقة أو خير
الصدقة عن ظهر غنى واليد العليا خير من اليد السفلى وابدأ بمن تعول ))
|
Menceritakan
kepada kami Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Hatim dan Ahmad bin Abdah (secara
bersama-sama) dari Yahya al-Qotton berkata Ibnu Basyar menceritakan Yahya
Menceritakan Umar bin Usman berkata “saya mendengar Musa bin Tholhah
menceritakan bahwa Hakiem bin Hizam bercerita” Bahwa Rasulullah SAW berkata
“….”
Urutan
|
Jalur Periwayatan
|
1
|
Rasulullah SAW
|
2
|
Hakiem bin Hizam
|
3
|
Musa bin Tholhah
|
4
|
Umar bin Usman
|
5
|
Yahya
|
6
|
Ibnu Basyar
|
7
|
Yahya al-Qotthon
|
8
|
Muhammad b Basyar,
Muhammad b Hatim, Ahmad b Abdah
|
9
|
Muslim
|
Makna perkata
الْيَدُ الْعُلْيَا : قال الزمخشري : أصل العليا اسم لمكان
مرتفع وليست بتأنيث الأعلى
اليد العليا: Az-Zamakhsyari mengatakan: asal makna العلياdigunakan untuk nama tempat yang tinggi dan
bukan mwnunjukkan makna feminim (muannas) atas lafadz الأعلى,
secara keseluruhan berarti المنفقة yaitu pemberi/ penginfak. Sedangkan اليد السفلى berarti السائلة yaitu peminta. Keterangan ini sebagaimana hadist Abdullah bin Umar diatas, Riwayat Imam muslim
nomor 1033.
بِمَنْ تَعُوْلُ
: Orang yang menjadi tanggunganmu, yaitu isteri, orang tua, anak-anak yang
masih menjadi tanggungan orang tua dan pelayan (pembantu)
خَيْرٌ
: Lebih baik.
ظَهْرُ غِنًى
: Tidak membutuhkannya, lebih dari keperluan.
يَسْتَعْفِفْ
: Menjaga kehormatan diri atau menahan diri dari meminta-minta.
يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh).
يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh).
Penjelasan Subulus Salam
Penjelasan Kalimat
Barangsiapa menjaga martabatnya (dengan tidak mau meminta-minta) maka
Allah akan menjaga martabatnya dan barangsiapa yang merasa cukup (dengan apa
yang ia miliki walaupun sedikit) maka Allah akan mencukupinya.” (dengan
memasukkan rasa qana’ah di dalam hatinya)
Kebanyakan ulama menafsirkan lafazh ‘tangan yang di
atas’ ialah orang yang memberi, sedangkan ‘tangan yang di bawah’
orang yang menerima pemberian.
Ada yang berpendapat bahwa ‘tangan yang di atas’ ialah
tangan orang yang menjaga martabatnya –tidak mau meminta-minta-. Ada yang
mengatakan bahwa maksudnya ialah orang yang mengambil pemberian tanpa
memintanya. Ada juga yang mengatakan bahwa tangan yang di atas maksudnya orang
yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah maksudnya orang yang tidak mau memberi.
Ada juga dari pengikut tasawuf yang mengatakan bahwa tangan yang mengambil
lebih baik secara mutlak daripada tangan yang memberi. Dalam hal ini Ibnu
Qutaibah berkomentar, “Saya tidak melihat mereka kecuali sebagai orang-orang
yang mengagung-agungkan pengemis, mereka berargumen untuk suatu yang hina,
sungguh enak apa yang mereka katakan.”
Telah disebutkan tafsir dari Nabi SAW bahwa tangan
yang di atas ialah tangan yang memberi dan tidak mengambil, demikianlah yang
diriwayatkan oleh Ishaq di dalam musnadnya dari Hakim bin Hizam, ia bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah tangan yang di atas itu?’ lalu ia sebutkan hadits
ini.
Tafsir Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa dalam bersedekah
hendaklah diutamakan diri sendiri lalu orang-orang yang berada di dalam tanggungannya
sesuai dengan prioritasnya.
Ukuran sedekah yang baik ialah jika seseorang
mengeluarkan sedekah dan setelah mengeluarkan sedekah tersebut masih tersisa
harta yang cukup untuk menutupi keperluannya. Karena seseorang yang
menyedekahkan seluruh hartanya, biasanya akan menyesal dan berpikir ulang
sekiranya tidak menyedekahkan seluruh hartanya saat ia terhimpit dengan
kebutuhannya.
Berkaitan dengan seseorang yang menyedekahkan dengan
seluruh hartanya, para ulama berbeda pendapat, Al Qadhi Iyadh berkata, “Para
ulama dan para imam di berbagai penjuru negeri memperbolehkannya.” At Thabari
berkata, “walaupun hal itu diperbolehkan, namun yang lebih dianjurkan agar
tidak melakukannya, atau cukup sepertiga dari seluruh hartanya.”
Namun, alangkah baiknya jika dikatakan bahwa seseorang
yang menyedekahkan seluruh hartanya, lalu ia bersabar atas kekurangan dan ia
tidak memiliki tanggungan, atau ia memiliki tanggungan, namun mereka semua
bersabar atas hal tersebut, maka tidak ada yang memperdebatkan atas keutamaan
tindakan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
{وَيُؤْثِرُونَ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ}
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin)
atas diri mereka sendiri.”(QS. Al-Hasyr [59]: 9)
Dan firman-Nya:
{وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ}
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya.”
(QS. Al Insan [76]: 8)
Akan tetapi perbuatan tersebut dianggap makruh untuk
dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu melakukan syarat-syarat tersebut.
SYARH HADITS.
Sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Tangan yang di
atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.
Yaitu orang yang
memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena pemberi berada di atas
penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Al-Yadus Suflâ
(tangan yang dibawah) memiliki beberapa pengertian:
Makna Pertama,
artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang yang memberi lebih
baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang
diberi tidak boleh menerima pemberian orang lain. Bila seseorang memberikan
hadiah kepadanya, maka dia boleh menerimanya, seperti yang terjadi pada
Shahabat yang mulia ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau
Radhiyallahu anhu menolak pemberian dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ
غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
Ambillah
pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau tidak mengharapkan
kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah. Dan apa-apa yang tidak
(diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk
memperolehnya).”[1]
Demikian juga
jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang miskin dan orang itu
berhak menerima, maka boleh ia menerimanya.
Makna kedua,
yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam :
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى،
اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan yang di
atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi
infak dan tangan di bawah yaitu orang yang minta-minta[2].
Makna yang kedua
ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak sangat membutuhkan, karena
meminta-minta dalam syari’at Islam tidak boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada
beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang untuk
meminta-minta, di antaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ
يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
Seseorang senantiasa
meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam
keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya[3].
Hadits ini
merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta kepada manusia
tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. Oleh karena itu, para Ulama mengatakan
bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu kepada manusia kecuali ketika
darurat.
Ancaman dalam
hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta kepada orang lain
untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ
الْجَمْرَ
Barangsiapa
meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia
memakan bara api.’”[4]
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا
، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Barangsiapa
meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia
hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.[5]
Adapun
meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena
terpaksa. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
Dan terhadap
orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuhâ/93:10]
Dan juga seperti
dalam hadits Qâbishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.
1044) dan lainnya.
Sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ
Dan mulailah
dari orang yang menjadi tanggunganmu.
Yaitu saat ingin
memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan memprioritaskan orang yang
menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia nafkahi. Menafkahi keluarga lebih
utama daripada bersedekah kepada orang miskin, karena menafkahi keluarga
merupakan sedekah, menguatkan hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri,
maka itulah yang lebih utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi
tanggunganmu. Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk
selainnya, sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ
فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ
Mulailah dari
dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu[6]
Dalam hadits di
awal rubrik ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk
memulai pemberian nafkah dari keluarga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
Satu dinar yang
engkau infaqkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau infakkan untuk
memerdekakan seorang hamba (budak), satu dinar yang engkau infakkan untuk orang
miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih
besar ganjarannya ialah satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu[7]
Sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى
Dan
sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak
membutuhkannya
Artinya sedekah
terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir miskin dan orang-orang yang
membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari kelebihan harta setelah keperluan
terpenuhi. Artinya, setelah dia memenuhi keperluan keluarganya secara wajar,
baru kemudian kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin.
Hadits yang
serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ
عَنْكُمْ،وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ،
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ
مِنَ الصَّبْرِ
Apa saja
kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian.
Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan
menjaganya. Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan
mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan
menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi sebuah pemberian yang lebih
baik dan lebih luas daripada anugerah kesabaran.[8]
Hadits ini
mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu:
Kalimat Pertama
:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ
Barangsiapa
menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya
Kalimat Kedua :
ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
Barangsiapa
merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya.
Kedua kalimat di
atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan diri seorang hamba
kepada Allâh Azza wa Jalla terletak dalam keikhlasannya kepada Allâh, takut,
harap, dan bergantung kepada-Nya, tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib
baginya untuk berusaha merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua
sebab dan perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut.
Sehingga dia menjadi hamba Allâh yang sejati, bebas dari perbudakan seluruh
makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua perkara;
1. Meninggalkan
ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan diri dari apa-apa yang
ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka dengan perkataan maupun
keadaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar
Radhiyallahu anhu :
خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ
غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ.
Ambillah
pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak mengharapkan
kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan apa-apa yang tidak
(diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk
memperolehnya)[9]
Maka
menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari
meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian makhluk
serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka, merupakan faktor
yang kuat untuk memperoleh ‘iffah (kesucian diri dan dijauhkan dari hal-hal
yang tidak halal atau tidak baik).
2. Merasa cukup
dengan Allâh Azza wa Jalla , percaya dengan kecukupan-Nya, karena barangsiapa
bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan
mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya…”
[Ath-Thalâq/65:3]
Potongan kalimat
yang pertama yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
” Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allâh akan menjaganya,”
merupakan wasîlah (cara) untuk sampai kepada hal ini. Yaitu barangsiapa menjaga
kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada pada manusia dan apa-apa yang didapat
dari mereka, maka itu mendorong dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allâh
Azza wa Jalla , berharap, semakin menguatkan keinginannya dalam (meraih) kebaikan
dari Allâh Azza wa Jalla , dan berbaik sangka kepada Allâh serta percaya
kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik
kepada-Nya; jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan
jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ
Aku bersama
prasangka hamba-Ku terhadap-Ku[10]
Masing-masing
dari dua hal tersebut saling membangun dan saling menguatkan. Semakin kuat
ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka akan semakin lemah
ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu juga sebaliknya, semakin kuat
ketergantungan manusia kepada makhluk, maka semakin lemah ketergantungannya
kepada Allâh Azza wa Jalla . Di antara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yaitu:
اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى،
وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى
Ya Allâh,
sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari
hal-hal yang tidak halal dan tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu
kecukupan[11]
Doa yang singkat
ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu:
• Petunjuk :
Yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat.
• Ketakwaan :
Takwa kepada Allâh yaitu dengan mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan
segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama.
Yang
menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya yang dapat
diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup dengan Allâh Azza
wa Jalla . Barangsiapa merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , maka dia
adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun penghasilannya sedikit. Karena
kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ
الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
(Hakikat) kaya
bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya
hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan)[12]
Dengan iffah
(kesucian diri) dan merasa berkecukupan maka akan terwujud kehidupan yang baik
bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qanâ’ah (merasa puas) atas apa yang Allâh
berikan padanya.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا
وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh
beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa
puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[13]
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ
عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ
Berbahagialah
orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup
serta merasa puas (qana’ah)[14]
Orang yang
merasa cukup dan qanâ’ah (merasa puas dengan apa yang Allâh karuniakan)
–meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu saja– maka seolah-olah
ia memiliki dunia dan seisinya.
Kalimat ketiga:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ
Barang siapa
yang melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikan dia sabar,
Kemudian
disebutkan dalam kalimat keempat bahwa jika Allâh Azza wa Jalla memberikan
kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan anugerah yang
paling utama dan pertolongan yang paling luas serta paling agung. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
Dan mohonlah
pertolongan (kepada Allâh) dengan sabar dan shalat…” [Al-Baqarah/2:45], yaitu
dalam setiap perkara kalian.
Allâh Azza wa
Jalla juga berfirman :
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا
تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Dan bersabarlah
(Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allâh dan
janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula)
bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.”[An-Nahl/16:127]
Sabar, seperti
halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan kesungguhan jiwa dan latihan.
Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang
melatih diri untuk bersabar,” yaitu orang yang mencurahkan jiwanya untuk
bersabar, “Maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikannya sabar,” yaitu Allâh akan
menolongnya agar ia bisa bersabar.
Sabar itu
merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan dengan semua urusan
seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran
dalam segala keadaan selama hidupnya.
Seorang hamba
membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya:
1. Dalam
menjalankan ketaatan kepada Allâh sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya
2. Sabar dalam
menjauhkan maksiat kepada Allâh sampai dia bisa meninggalkannya karena Allâh
Azza wa Jalla
3. Sabar atas
takdir-takdir Allâh yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya,
4. Bahkan
seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allâh dan hal-hal yang
dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya tenggelam dalam
kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia terus menyibukkannya dengan
bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kesimpulannya,
seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaannya. Dengan kesabaran,
seorang hamba akan mendapat kemenangan. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tentang
penghuni surga dalam firman-Nya :
وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ
بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“…Sedangkan para
malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;(sambil mengucapkan),
‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan
itu.” [Ar-Ra’du/13: 23-24]
Begitu juga
firman-Nya :
أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا
Mereka itu akan
diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka…
[Al-Furqân/25:75]
Mereka
mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan tempat-tempat yang
tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta kepada Allâh Azza wa Jalla
agar diselamatkan dari cobaan yang tidak diketahui akibatnya, namun jika cobaan
itu datang kepadanya, maka kewajibannya adalah bersabar.
Dalam al-Qur’ân
dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allâh Azza wa Jalla
telah berjanji akan memberikan perkara-perkara yang tinggi dan mulia bagi
orang-orang yang bersabar. Di antara perkara-perkara tersebut:
• Allâh Azza wa
Jalla berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan. [Al-A’râf/7:137]
• Allâh Azza wa
Jalla bersama mereka dengan pertolongan, taufik, dan kelurusan dari-Nya
[Al-Anfâl/8: 46]
• Allâh Azza wa
Jalla mencintai orang-orang yang bersabar. [Ali ‘Imrân/3:146]
• Allâh Azza wa
Jalla menguatkan hati dan kaki mereka, memberi ketenangan kepada mereka,
memudahkan mereka untuk melakukan ketaatan dan menjaga mereka dari
perselisihan.
• Allâh Azza wa
Jalla mengaruniakan kepada mereka shalawat, rahmat, dan hidayah ketika musibah
menimpa mereka. [Al-Baqarah/2:155-157]
• Allâh Azza wa
Jalla meninggikan derajat mereka di dunia dan akhirat.
• Allâh Azza wa
Jalla menjanjikan kemenangan buat mereka, akan memberikan kemudahan, dan
menjauhkan mereka dari kesulitan.
• Allâh Azza wa
Jalla menjanjikan kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan buat mereka. [Ali
‘Imrân/3:200]
• Allâh Azza wa
Jalla memberi mereka ganjaran tanpa perhitungan. [Az-Zumar/39:10]
Sabar itu
awalnya sangat sulit, tetapi akhirnya mudah dan terpuji. Sebagaimana dikatakan:
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ
عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu pahit
rasanya seperti namanya.
Tetapi akhirnya
lebih manis daripada madu.
Fawaa-Id.
1.Orang yang
memberi lebih baik daripada orang yang menerima.
2. Dianjurkan
bersedekah dan berinfak kepada kaum Muslimin yang membutuhkan.
3. Minta-minta
hukumnya haram dalam Islam.
4. Bila
seseorang diberi sesuatu tanpa diminta, maka ia boleh menerimanya.
5. Seorang
Muslim wajib memberi nafkah kepada orang yang berada dalam pemeliharaan,
seperti isteri, anak, orang tua dan pembantu.
6. Dimakruhkan
menyedekahkan apa yang masih dibutuhkan atau menyedekahkan seluruh apa yang
dimilikinya, sehingga dia tidak terpaksa meminta-minta kepada orang lain.
7. Sebaik-baik
sedekah yaitu sedekah yang diambilkan dari kelebihan harta setelah kebutuhan
kita terpenuhi.
8.Memelihara
diri dari meminta-minta dan merasa cukup dengan pemberian Allâh Azza wa Jalla
dapat membuahkan rezeki yang baik dan jalan menuju kemuliaan.
9. Orang yang menjaga
kehormatan dirinya (‘iffah), maka Allâh Azza wa Jalla akan menjaganya.
10. Orang-orang
yang tidak meminta-minta kepada manusia, maka dia akan mulia.
11. Orang yang
qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan), dia
adalah orang yang paling kaya.
12. Orang yang
merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya, maka Allâh Azza wa
Jalla akan mencukupinya.
13. Orang yang
beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib menghilangkan ketergantungan hatinya
kepada makhluk. Dia wajib bergantung hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .
14. Orang yang
beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib bertawakkal hanya kepada Allâh dan
merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan.
15. Seorang
Mukmin wajib melatih dirinya untuk sabar.
16. Wajib sabar
dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menjauhkan dosa dan maksiat, serta
sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian.
17. Pemberian
yang paling baik yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seorang hamba adalah
kesabaran.
Maraji’.
1.
Kutubussittah.
2. Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal.
3. Bahjatun
Nâzhiriin Syarh Riyâdhis Shâlihîn.
4. Syarh
Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
5. Bahjatu
Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di.
6. ‘Idatush Shâbirîn
wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
Pendapat Penulis
“Tangan yang di
atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena
itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima.
Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah!, karena seperti itulah contoh
dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah
(pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585)
Berbalas budi -di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan
terpuji di tengah masyarakat- adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya
keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar