Rabu, 14 Desember 2016

Mohammad Nafiudin


Nama                          :  Mohammad Nafiudin
Nim                             :  1415201035
Smt / Jurusan :  III / Aas a
Study                          :  Hadist Ahkam

وَعَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،
 وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Artinya : Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”
Hadits ini terdapat dalam kitab “Bulugh al-maroom min adillah al ahkam” nomor 653. Dalam Bab Shodaqoh Tathowwu’. Kalo kita melihat lafadz متفق عليه berarti hadits ini disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, tetapi yang lafadz yang dicantumkan atau ditulis milik riwayat Imam Bukori  dengan nomer hadits 1427-1428 jilid 3 halam 294.
TINJAUAN SANAD
أخرجه البخاري في كتاب : الزكاة ، باب : لا صدقة إلا عن ظهر غنى 3/294(1427-1428) ،
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ ـ رضى الله عنه ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
 ‏‏‏.‏ وَعَنْ وُهَيْبٍ، قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ بِهَذَا‏.‏
 "‏ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ ‏"



Hadits ini dalam riwayat Imam Bukhori memiliki dua jalur periwayatan :
1.      Menceritakan musa bin ismail, menceritakan wuhaib, menceritakan hisyam dari bapaknya hisyam dari hakiem bin hizaam (1427)
2.      Dari Wuhaib, mengabarkan hisyam, dari bapaknya hisyam dari abu Hurairah (1428)
Urutan
Riwayat 1
Riyawat 2
1
Nabi SAW
Nabi SAW
2
Hakiem Bin hizaam
Abu Hurairah
3
Bapaknya Hisyam
Bapaknya Hakiem (Hizam)
4
Hisyam
Hisyam
5
Wuhaib
Wuhaib
6
Musa bin Ismail
Bukhori
7
Bukhori

Dalam riwayat Imam muslim kita hanya menemukan satu jalur periwayan yaitu pada hadits nomor 1034

1034 حدثنا محمد بن بشار ومحمد بن حاتم وأحمد بن عبدة جميعا عن يحيى القطان قال ابن بشار حدثنا يحيى حدثنا عمرو بن عثمان قال سمعت موسى بن طلحة يحدث أن حكيم بن حزام حدثه ((أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أفضل الصدقة أو خير الصدقة عن ظهر غنى واليد العليا خير من اليد السفلى وابدأ بمن تعول ))
Menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Hatim dan Ahmad bin Abdah (secara bersama-sama) dari Yahya al-Qotton berkata Ibnu Basyar menceritakan Yahya Menceritakan Umar bin Usman berkata “saya mendengar Musa bin Tholhah menceritakan bahwa Hakiem bin Hizam bercerita” Bahwa Rasulullah SAW berkata “….”
Urutan
Jalur Periwayatan
1
Rasulullah SAW
2
Hakiem bin Hizam
3
Musa bin Tholhah
4
Umar bin Usman
5
Yahya
6
Ibnu Basyar
7
Yahya al-Qotthon
8
Muhammad b Basyar, Muhammad b Hatim, Ahmad b Abdah
9
Muslim

Makna perkata
الْيَدُ الْعُلْيَا : قال الزمخشري : أصل العليا اسم لمكان مرتفع وليست بتأنيث الأعلى
اليد العليا: Az-Zamakhsyari mengatakan: asal makna العلياdigunakan untuk nama tempat yang tinggi dan bukan mwnunjukkan makna feminim (muannas) atas lafadz الأعلى, secara keseluruhan berarti المنفقة yaitu pemberi/ penginfak. Sedangkan اليد السفلى  berarti السائلة yaitu peminta. Keterangan ini sebagaimana hadist  Abdullah bin Umar diatas, Riwayat Imam muslim nomor 1033.

بِمَنْ تَعُوْلُ : Orang yang menjadi tanggunganmu, yaitu isteri, orang tua, anak-anak yang masih menjadi tanggungan orang tua dan pelayan (pembantu)
خَيْرٌ : Lebih baik.
ظَهْرُ غِنًى : Tidak membutuhkannya, lebih dari keperluan.
يَسْتَعْفِفْ : Menjaga kehormatan diri atau menahan diri dari meminta-minta.
يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh).


Penjelasan Subulus Salam
Penjelasan Kalimat
Barangsiapa menjaga martabatnya (dengan tidak mau meminta-minta) maka Allah akan menjaga martabatnya dan barangsiapa yang merasa cukup (dengan apa yang ia miliki walaupun sedikit) maka Allah akan mencukupinya. (dengan memasukkan rasa qana’ah di dalam hatinya)
Kebanyakan ulama menafsirkan lafazh ‘tangan yang di atas’ ialah orang yang memberi, sedangkan ‘tangan yang di bawah’ orang yang menerima pemberian.
Ada yang berpendapat bahwa ‘tangan yang di atas’ ialah tangan orang yang menjaga martabatnya –tidak mau meminta-minta-. Ada yang mengatakan bahwa maksudnya ialah orang yang mengambil pemberian tanpa memintanya. Ada juga yang mengatakan bahwa tangan yang di atas maksudnya orang yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah maksudnya orang yang tidak mau memberi. Ada juga dari pengikut tasawuf yang mengatakan bahwa tangan yang mengambil lebih baik secara mutlak daripada tangan yang memberi. Dalam hal ini Ibnu Qutaibah berkomentar, “Saya tidak melihat mereka kecuali sebagai orang-orang yang mengagung-agungkan pengemis, mereka berargumen untuk suatu yang hina, sungguh enak apa yang mereka katakan.”
Telah disebutkan tafsir dari Nabi SAW bahwa tangan yang di atas ialah tangan yang memberi dan tidak mengambil, demikianlah yang diriwayatkan oleh Ishaq di dalam musnadnya dari Hakim bin Hizam, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tangan yang di atas itu?’ lalu ia sebutkan hadits ini.

Tafsir Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa dalam bersedekah hendaklah diutamakan diri sendiri lalu orang-orang yang berada di dalam tanggungannya sesuai dengan prioritasnya.
Ukuran sedekah yang baik ialah jika seseorang mengeluarkan sedekah dan setelah mengeluarkan sedekah tersebut masih tersisa harta yang cukup untuk menutupi keperluannya. Karena seseorang yang menyedekahkan seluruh hartanya, biasanya akan menyesal dan berpikir ulang sekiranya tidak menyedekahkan seluruh hartanya saat ia terhimpit dengan kebutuhannya.
Berkaitan dengan seseorang yang menyedekahkan dengan seluruh hartanya, para ulama berbeda pendapat, Al Qadhi Iyadh berkata, “Para ulama dan para imam di berbagai penjuru negeri memperbolehkannya.” At Thabari berkata, “walaupun hal itu diperbolehkan, namun yang lebih dianjurkan agar tidak melakukannya, atau cukup sepertiga dari seluruh hartanya.”
Namun, alangkah baiknya jika dikatakan bahwa seseorang yang menyedekahkan seluruh hartanya, lalu ia bersabar atas kekurangan dan ia tidak memiliki tanggungan, atau ia memiliki tanggungan, namun mereka semua bersabar atas hal tersebut, maka tidak ada yang memperdebatkan atas keutamaan tindakan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
{وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ}
Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri.”(QS. Al-Hasyr [59]: 9)
Dan firman-Nya:
{وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ}
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya.” (QS. Al Insan [76]: 8)
Akan tetapi perbuatan tersebut dianggap makruh untuk dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu melakukan syarat-syarat tersebut.

 SYARH HADITS.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.
Yaitu orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Al-Yadus Suflâ (tangan yang dibawah) memiliki beberapa pengertian:
Makna Pertama, artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang diberi tidak boleh menerima pemberian orang lain. Bila seseorang memberikan hadiah kepadanya, maka dia boleh menerimanya, seperti yang terjadi pada Shahabat yang mulia ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu menolak pemberian dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

Ambillah pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah. Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya).”[1]
Demikian juga jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang miskin dan orang itu berhak menerima, maka boleh ia menerimanya.
Makna kedua, yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi infak dan tangan di bawah yaitu orang yang minta-minta[2].
Makna yang kedua ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak sangat membutuhkan, karena meminta-minta dalam syari’at Islam tidak boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang untuk meminta-minta, di antaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya[3].
Hadits ini merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta kepada manusia tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. Oleh karena itu, para Ulama mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu kepada manusia kecuali ketika darurat.
Ancaman dalam hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.’”[4]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا ، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.[5]

Adapun meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena terpaksa. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuhâ/93:10]
Dan juga seperti dalam hadits Qâbishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1044) dan lainnya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ

Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.
Yaitu saat ingin memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan memprioritaskan orang yang menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia nafkahi. Menafkahi keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang miskin, karena menafkahi keluarga merupakan sedekah, menguatkan hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri, maka itulah yang lebih utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi tanggunganmu. Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk selainnya, sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ

Mulailah dari dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu[6]
Dalam hadits di awal rubrik ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk memulai pemberian nafkah dari keluarga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), satu dinar yang engkau infakkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya ialah satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu[7]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya
Artinya sedekah terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari kelebihan harta setelah keperluan terpenuhi. Artinya, setelah dia memenuhi keperluan keluarganya secara wajar, baru kemudian kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin.
Hadits yang serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ،وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Apa saja kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada anugerah kesabaran.[8]
Hadits ini mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu:

Kalimat Pertama :
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ

Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya
Kalimat Kedua :
ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya.
Kedua kalimat di atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan diri seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla terletak dalam keikhlasannya kepada Allâh, takut, harap, dan bergantung kepada-Nya, tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib baginya untuk berusaha merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua sebab dan perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut. Sehingga dia menjadi hamba Allâh yang sejati, bebas dari perbudakan seluruh makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua perkara;
1. Meninggalkan ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan diri dari apa-apa yang ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka dengan perkataan maupun keadaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu :
خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ.

Ambillah pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya)[9]
Maka menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian makhluk serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka, merupakan faktor yang kuat untuk memperoleh ‘iffah (kesucian diri dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal atau tidak baik).

2. Merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , percaya dengan kecukupan-Nya, karena barangsiapa bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya…” [Ath-Thalâq/65:3]
Potongan kalimat yang pertama yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, ” Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allâh akan menjaganya,” merupakan wasîlah (cara) untuk sampai kepada hal ini. Yaitu barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada pada manusia dan apa-apa yang didapat dari mereka, maka itu mendorong dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , berharap, semakin menguatkan keinginannya dalam (meraih) kebaikan dari Allâh Azza wa Jalla , dan berbaik sangka kepada Allâh serta percaya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik kepada-Nya; jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ
Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku[10]
Masing-masing dari dua hal tersebut saling membangun dan saling menguatkan. Semakin kuat ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka akan semakin lemah ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu juga sebaliknya, semakin kuat ketergantungan manusia kepada makhluk, maka semakin lemah ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Di antara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:


اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu kecukupan[11]

Doa yang singkat ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu:
• Petunjuk : Yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat.
• Ketakwaan : Takwa kepada Allâh yaitu dengan mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama.
Yang menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya yang dapat diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , maka dia adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun penghasilannya sedikit. Karena kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

(Hakikat) kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan)[12]
Dengan iffah (kesucian diri) dan merasa berkecukupan maka akan terwujud kehidupan yang baik bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qanâ’ah (merasa puas) atas apa yang Allâh berikan padanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ

Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas (qana’ah)[14]
Orang yang merasa cukup dan qanâ’ah (merasa puas dengan apa yang Allâh karuniakan) –meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu saja– maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya.
Kalimat ketiga:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ

Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikan dia sabar,
Kemudian disebutkan dalam kalimat keempat bahwa jika Allâh Azza wa Jalla memberikan kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan anugerah yang paling utama dan pertolongan yang paling luas serta paling agung. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan sabar dan shalat…” [Al-Baqarah/2:45], yaitu dalam setiap perkara kalian.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allâh dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.”[An-Nahl/16:127]

Sabar, seperti halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan kesungguhan jiwa dan latihan. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar,” yaitu orang yang mencurahkan jiwanya untuk bersabar, “Maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikannya sabar,” yaitu Allâh akan menolongnya agar ia bisa bersabar.
Sabar itu merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan dengan semua urusan seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan selama hidupnya.
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya:
1. Dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya
2. Sabar dalam menjauhkan maksiat kepada Allâh sampai dia bisa meninggalkannya karena Allâh Azza wa Jalla
3. Sabar atas takdir-takdir Allâh yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya,
4. Bahkan seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allâh dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia terus menyibukkannya dengan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kesimpulannya, seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaannya. Dengan kesabaran, seorang hamba akan mendapat kemenangan. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tentang penghuni surga dalam firman-Nya :
وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“…Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;(sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” [Ar-Ra’du/13: 23-24]
Begitu juga firman-Nya :
أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا

Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka… [Al-Furqân/25:75]
Mereka mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan tempat-tempat yang tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta kepada Allâh Azza wa Jalla agar diselamatkan dari cobaan yang tidak diketahui akibatnya, namun jika cobaan itu datang kepadanya, maka kewajibannya adalah bersabar.
Dalam al-Qur’ân dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allâh Azza wa Jalla telah berjanji akan memberikan perkara-perkara yang tinggi dan mulia bagi orang-orang yang bersabar. Di antara perkara-perkara tersebut:
• Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan. [Al-A’râf/7:137]
• Allâh Azza wa Jalla bersama mereka dengan pertolongan, taufik, dan kelurusan dari-Nya [Al-Anfâl/8: 46]
• Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang bersabar. [Ali ‘Imrân/3:146]
• Allâh Azza wa Jalla menguatkan hati dan kaki mereka, memberi ketenangan kepada mereka, memudahkan mereka untuk melakukan ketaatan dan menjaga mereka dari perselisihan.
• Allâh Azza wa Jalla mengaruniakan kepada mereka shalawat, rahmat, dan hidayah ketika musibah menimpa mereka. [Al-Baqarah/2:155-157]
• Allâh Azza wa Jalla meninggikan derajat mereka di dunia dan akhirat.
• Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kemenangan buat mereka, akan memberikan kemudahan, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
• Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan buat mereka. [Ali ‘Imrân/3:200]
• Allâh Azza wa Jalla memberi mereka ganjaran tanpa perhitungan. [Az-Zumar/39:10]
Sabar itu awalnya sangat sulit, tetapi akhirnya mudah dan terpuji. Sebagaimana dikatakan:
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ

Sabar itu pahit rasanya seperti namanya.
Tetapi akhirnya lebih manis daripada madu.
            Fawaa-Id.
1.Orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima.
2. Dianjurkan bersedekah dan berinfak kepada kaum Muslimin yang membutuhkan.
3. Minta-minta hukumnya haram dalam Islam.
4. Bila seseorang diberi sesuatu tanpa diminta, maka ia boleh menerimanya.
5. Seorang Muslim wajib memberi nafkah kepada orang yang berada dalam pemeliharaan, seperti isteri, anak, orang tua dan pembantu.
6. Dimakruhkan menyedekahkan apa yang masih dibutuhkan atau menyedekahkan seluruh apa yang dimilikinya, sehingga dia tidak terpaksa meminta-minta kepada orang lain.
7. Sebaik-baik sedekah yaitu sedekah yang diambilkan dari kelebihan harta setelah kebutuhan kita terpenuhi.
8.Memelihara diri dari meminta-minta dan merasa cukup dengan pemberian Allâh Azza wa Jalla dapat membuahkan rezeki yang baik dan jalan menuju kemuliaan.
9. Orang yang menjaga kehormatan dirinya (‘iffah), maka Allâh Azza wa Jalla akan menjaganya.
10. Orang-orang yang tidak meminta-minta kepada manusia, maka dia akan mulia.
11. Orang yang qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan), dia adalah orang yang paling kaya.
12. Orang yang merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya.
13. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib menghilangkan ketergantungan hatinya kepada makhluk. Dia wajib bergantung hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .
14. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib bertawakkal hanya kepada Allâh dan merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan.
15. Seorang Mukmin wajib melatih dirinya untuk sabar.
16. Wajib sabar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menjauhkan dosa dan maksiat, serta sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian.
17. Pemberian yang paling baik yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seorang hamba adalah kesabaran.
            Maraji’.
1. Kutubussittah.
2. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhis Shâlihîn.
4. Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
5. Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
6. ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
                Pendapat Penulis
“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah!, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585) Berbalas budi -di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat- adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar