Nama : Fazar Sodik
AAS-A Semester 3
Mata Kuliah Hadits Ahkam
HADITS KE 683 BAB SHAUM
Teks
Hadits
وَعَنْ عَائِشَةَ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ
لِإِرْبِهِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ،
وَزَادَ فِي
رِوَايَةٍ: " فِي رَمَضَانَ "
Artinya : 'Aisyah
Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mencium
sewaktu shaum dan mencumbu sewaktu shaum, akan tetapi beliau adalah orang yang
paling kuat menahan nafsunya di antara kamu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya
menurut Muslim. Dalam suatu riwayat ditambahkan: Pada bulan Ramadhan.
Kosa Kata
-
يُقَبِّلُ
|
Mencium
|
-
وَهُوَ
|
Ketika
|
-
صَائِمٌ
|
Shaum
|
-
وَلَكِنَّهُ
|
Akan tetapi
|
-
أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
|
Paling kuat
menahan nafsunya
|
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ
صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ وَقَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ { مَآرِبُ
} حَاجَةٌ قَالَ طَاوُسٌ { غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ } الْأَحْمَقُ لَا حَاجَةَ لَهُ فِي
النِّسَاءِ
|
Hadits Imam Bukhori No. 1792
Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, Syu'bah dari Al Hakam dari
Ibrahim dari Al Aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mencium dan mencumbu (isteri-isteri Beliau)
padahal Beliau sedang berpuasa. Dan Beliau adalah orang yang paling mampu
mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian". Dan Al Aswad berkata; Ibnu
'Abbas radliallahu 'anhuma berkata, istilah ma"aarib maknanya adalah
keperluan (seperti dalam QS Thoha ayat 18) artinya hajat. Dan berkata, Thowus
(seperti dalam QS An-Nuur ayat 31) artinya: orang dungu yang tidak punya
keinginan lagi terhadap wanita.
Jalur Sanad
Hadits :
Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq
Al Aswad bin Yazid bin Qias
Ibrahim bin Yazid bin Qays
Al Hakam bin Utaibah
Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warad
Sulaiman bin Harb bin Bujail
Biografi Perawi Hadits
Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq
Kalangan
Shahabat
Kuniyah :
Ummu’ Abdullah
Negeri
Semasa Hidup Madinah
Wafat : 58
H.
Al Aswad bin Yazid bin Qias
Kalangan
Tabi’in kalangan Tua
Kuniyah :
Abu Amru
Negeri Semasa
Hidup kufah
Wafat : 75
H
Ibrahim bin Yazid bin Qays
Kalangan
Tabi’in kalangan biasa
Kuniyah :
Abu Imrah
Negeri
Semasa Hidup Kufah
Wafat : 96
H
Al Hakam bin Utaibah
Kalangan
Tabi’in Kalangan Biasa
Kuniyah :
Abu Muhammad
Negeri
Semasa Hidup Kufah
Wafat :
113 H
Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warad
Kalangan
Tabi’ut Tabi’in kalangan Tua
Kuniyah :
Abu Bistham
Negeri
semasa hidup Bashrah
Wafat :
160 H
Sulaiman bin Harb bin Bujail
Kalangan :
Tabi’ut Tabi’in
Kuniyah :
Abu Ayyub
Negeri
Semasa Hidup Bashrah
Wafat :
224 H
Penjelasan Subulussalam
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari
Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam mencium istrinya padahal beliau sedang berpuasa, dan beliau
menyentuh (bukan bersetubuh) istrinya padahal beliau sedang berpuasa, akan
tetapi beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan dirinya di antara
kalian." Muttafaq Alaih, lafadz Muslim, dan ia (Muslim) menambahkan di
dalam riwayatnya, "Pada bulan Ramadhan."
Tafsir Hadits
Para ulama berkata, "Maksud hadits ini, hendaklah
kalian tidak melakukan ciuman. Janganlah kalian mengira bahwa kalian seperti
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bisa mengendalikan dirinya dan
tidak khawatir akan terjadi hal-hal yang lebih jauh, baik keluarnya mani, timbulnya
syahwat, gejolak, dan lain sebagainya. Sedangkan kalian tidak bisa menjamin
hal-hal tersebut tidak akan terjadi. Maka hanya ada satu jalan keluar untuk
kalian, yaitu menahan diri untuk tidak melakukan ciuman."
An-Nasa'i meriwayatkan dari jalur Al-Aswad, "Aku
bertanya kepada Aisyah, "Apakah laki-laki yang sedang berpuasa boleh
mencium?" Beliau menjawab, "Tidak." Aku katakan, "Bukankah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyentuh [istrinya] padahal beliau
sedang berpuasa?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya beliau adalah orang
yang paling bisa mengendalikan dirinya di antara kalian."
Zhahir hadits ini mengisyaratkan, bahwa menurut Aisyah hal
tersebut merupakan kekhususan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Al-Qurthubi berkata, "Itu adalah ijtihad pribadinya."
Ada juga yang mengatakan, Aisyah berpendapat bahwa berciuman
hukumnya makruh bagi selain Nabi, dan beliau tidak mengharamkannya. Hal itu
berdasarkan ungkapan beliau, "Sesungguhnya beliau adalah orang yang paling
bisa mengendalikan dirinya di antara kalian."
Di dalam Kitab As-Shiyam karya Abu Yusuf Al-Qadhi dari
Hammad bin Salamah, "Aku bertanya kepada Aisyah tentang [hukum]
bersentuhan untuk orang yang sedang berpuasa? Maka beliau memakruhkannya."
Zhahir hadits ini menunjukkan, bahwa berciuman dan menyentuh
istri bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya boleh berdasarkan perilaku
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di samping itu, Aisyah menyebutkan
masalah ini ketika beliau ditanya tentang
hukum berciuman pada saat sedang
berpuasa, dan jawaban beliau menunjukkan bolehnya hal tersebut berdasarkan
perilaku Rasulullah.
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat:
1.
Makruh
secara mutlak menurut Al-Malikiyah.
2.
Haram,
berdasarkan firman Allah, {فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ} "Maka sekarang campurilah mereka."
(QS. Al-Baqarah: 187) ayat tersebut melarang bersentuhan pada siang hari.
Namun, pendapat ini dibantah bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah
bersetubuh, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam hadits nomor ini. Ada golongan yang
berpendapat bahwa berciuman itu haram. Mereka mengatakan bahwa bagi yang
berciuman, maka puasanya batal.
3.
Mubah,
bahkan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya mustahab.
4.
Ada
perincian hukum masing-masing, yaitu makruh bagi anak muda dan mubah bagi orang
tua. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
«أَنَّهُ
أَتَاهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - رَجُلٌ فَسَأَلَهُ عَنْ
الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ
فَإِذَا الَّذِي رُخِّصَ لَهُ شَيْخٌ وَاَلَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
\
"Bahwasanya
seseorang telah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu ia
menanyakan hukum bersentuhan bagi orang yang sedang berpuasa, maka Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan keringanan baginya, kemudian orang lain
datang kepadanya menanyakan hal yang sama, namun Rasulullah melarangnya, dan
ternyata orang yang mendapat izin ialah orang tua, sedangkan orang yang beliau
larang ialah anak muda." [hasan shahih, Shahih Abi Dawud (2387).
5. Diperbolehkan bagi orang yang mampu
mengendalikan dirinya, jika tidak, maka tidak diperbolehkan. Pendapat ini
diriwayatkan dari Asy-Syafi'i, berdasarkan hadits:
«عُمَرَ
بْنِ أَبِي سَلَمَةَ لَمَّا سَأَلَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - فَأَخْبَرَتْهُ أُمُّهُ أُمُّ سَلَمَةَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَصْنَعُ ذَلِكَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَفَرَ
اللَّهُ لَك مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِك وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ: إنِّي
أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ»
Umar bin
Abi Salamah ketika bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
maka ibunya, Ummu Salamah memberitahunya bahwa Rasulullah melakukan hal
tersebut, maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni
dosa-dosamu baik pada masa lalu maupun pada masa mendatang, maka beliau
menjawab, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada
Allah, di antara kalian.” [shahih, Muslim (1110).]
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara
orang muda dan orang tua, jika tidak, tentulah Nabi menjelaskannya kepada Umar,
apalagi saat itu Umar baru saja memasuki masa akil baligh.
Dari penjelasan di atas sangatlah jelas bahwa pendapat yang
memperbolehkan berciuman di siang hari di saat berpuasa lebih kuat.
Hal ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Dawud:
«عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: هَشِشْت يَوْمًا فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْت
النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقُلْت: صَنَعْت الْيَوْمَ
أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت بِمَاءٍ وَأَنْتَ
صَائِمٌ؟ قُلْت: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَفِيمَ»
dari Umar bin Khaththab, ia berkata, "Pada suatu hari
aku sedang riang gembira, maka aku mencium [istriku] padahal saat itu aku
sedang berpuasa, maka aku mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu
aku berkata, "Hari ini aku telah melakukan sesuatu yang besar, aku telah
mencium istriku padahal aku sedang berpuasa." Maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Apa pendapatmu jika engkau berkumur-kumur
dengan air padahal engkau sedang berpuasa?" Aku katakan, "Tidak
apa-apa." Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika
demikian, lalu kenapa?" [Shahih: Abi Dawud (2385).]
Para ulama berbeda pendapat bagaimana hukumnya jika orang
yang mencium, melihat atau menyentuh [istrinya] lalu keluar mani atau madzi?
Asy-Syafi'i dan yang lainnya berpendapat, bahwa orang tersebut harus mengqadha'
puasanya jika keluarnya mani itu disebabkan karena mencium atau menyentuh
[istrinya], tetapi jika keluarnya mani hanya karena sekadar melihat [istrinya]
saja maka tidak wajib mengqadha'-, sedangkan keluarnya madzi tidak mewajibkan
qadha' puasa.
Malik berkata, "Dalam semua kondisi orang tersebut
harus mengqadha' puasa dan membayar denda, kecuali dalam masalah madzi, hanya
wajib qadha' tanpa denda."
Dalam masalah ini masih terdapat berbagai pendapat, namun
yang kelihatan kuat ialah bahwa orang tersebut tidak wajib mengqadha' dan tidak
pula wajib membayar denda, kecuali jika orang tersebut bersetubuh. Dan
menganalogikan orang yang tidak melakukan jima' terhadap orang yang
melakukannya nampak sebagai analogi yang jauh -dari kebenaran-.
Catatan:
Ungkapan hadits, "... padahal beliau sedang berpuasa..."
tidak menunjukkan secara langsung bahwa pada saat itu beliau mencium istrinya,
dan istrinya sedang berpuasa juga. Ibnu Hibban telah meriwayatkan di dalam
Shahih Ibni Hibban, dari Aisyah,
«كَانَ
يُقَبِّلُ بَعْضَ نِسَائِهِ فِي الْفَرِيضَةِ وَالتَّطَوُّعِ»
"Bahwasanya beliau mencium istri-istrinya pada puasa
wajib maupun pada puasa sunnah." [Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 3545.
Ebook editor]
Kemudian ia lanjutkan dengan sanadnya,
«أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - كَانَ لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا وَهِيَ صَائِمَةٌ»
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
tidak menyentuh wajah istrinya pada saat ia -istrinya- sedang berpuasa." [Munkar:
Adh-Dhaifah 958. Ebook editor]
Lalu ia berkomentar, "Tidak ada pertentangan antara
kedua hadits ini, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mampu mengendalikan
dirinya, lalu beliau melakukan hal ini untuk menunjukkan bahwa hal itu hukumnya
mubah, bagi orang yang seperti dirinya, lalu beliau tidak melakukannya pada
saat istrinya sedang berpuasa, karena biasanya wanita lebih lemah, ketika
menghadapi suatu perlakuan padanya."
Pendapat Penulis
Dalam
hadits secara tekstual menyatakan bahwa Rasulullah mencium Aisyah dan
Mencumbunya. Dalam hadits itu tidak dijelaskan bahwa Rasulullah mencium apa ?
apakah mencium kening, mencium pipi ataukah mencium tangan itu tidak di
jelaskan dalam haditsnya.
Kriteria mencium menurut penulis ada 2. Yang
pertama mencium karena ciumman biasa seperti contoh , seorang suami akan pergi
jauh merantau kemudian mencium istrinya untuk izin pergi. Ciuman seperti itu
adalah yang dikatakan ciuman biasa yang dibolehkan ketika sedang berpuasa.
Karena tidak menimbulkan nafsu birahi. Dan berciuman atau bercumbu seperti ini
tidak bisa dikatakan membatalkan puasa, karena tidak bisa di ilatkan kepada
hal-hal yang membatalkan puasa antara lain, Makan, minum , memasukan sesuatu kedalam
dua lubang depan dan belakang, hilang akal berhubungan badan . Oleh karena itu
penulis mengatakan bahwa ciuman yang seperti ini tidak membatalkan puasa akan
tetapi bisa menimbulkan kemakhruhan ketika berpuasa. Kedua mencium atau
bercumbu karena adanya sebuah hasrat ingin melakukan sebuah hubungan bilogis,
ciuman ini yang tidak diperkenankan
karena bisa membatalkan puasa. Di ilatkan kepada hal-hal yang
membatalkan puasa .
Mabhum Mubadalahnya, Jika mencium
Istri membatalkan Puasa seorang laki-laki (Suami) maka berlaku juga jika
seorang Istri mencium Suaminya Maka
batallah puasa seorang Istri.
Kesimpulan
Mencium
atau berciuman saat sedang berpuasa tidak membatalkan tehadap puasa. Namun
tetap mesti dihindari. Status hukumnya makruh apabila berciuman tersebut
disertai dengan syahwat. Adapun apabila berciuman tersebut menyebabkan
keluarnya air mani, atau tertelannya ludah pasangan, atau menjurung pada
hubungan intim, maka tidak diperkenankan untuk berciuman. Hal tersebut dapat
membatalkan puasa.
1.
Makruh secara mutlak menurut Al-Malikiyah.
2.
Haram, berdasarkan firman Allah, {فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ} "Maka sekarang campurilah mereka."
(QS. Al-Baqarah: 187) ayat tersebut melarang bersentuhan pada siang hari.
Namun, pendapat ini dibantah bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah
bersetubuh, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam hadits nomor ini. Ada golongan yang
berpendapat bahwa berciuman itu haram. Mereka mengatakan bahwa bagi yang
berciuman, maka puasanya batal.
3. Mubah, bahkan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa hal
tersebut hukumnya mustahab.
4.
Ada perincian hukum masing-masing, yaitu makruh bagi anak
muda dan mubah bagi orang tua. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu
5.
Diperbolehkan bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya,
jika tidak, maka tidak diperbolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Asy-Syafi'i,.
Waullahua’alam Bisawaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar