Minggu, 11 Desember 2016

Fazar Sodik

Nama : Fazar Sodik
AAS-A Semester 3
Mata Kuliah Hadits Ahkam

 HADITS KE 683 BAB SHAUM

Teks  Hadits
وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «كَانَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ، 
وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: " فِي رَمَضَانَ "

Artinya : 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mencium sewaktu shaum dan mencumbu sewaktu shaum, akan tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kamu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat ditambahkan: Pada bulan Ramadhan.

Kosa Kata
-                                                                  يُقَبِّلُ
Mencium
-                                                                  وَهُوَ
Ketika
-                                                                 صَائِمٌ
Shaum
-                                                                 وَلَكِنَّهُ
Akan tetapi
-                                                                 أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
Paling kuat menahan nafsunya


حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ وَقَالَ  قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ  { مَآرِبُ } حَاجَةٌ قَالَ طَاوُسٌ  { غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ } الْأَحْمَقُ لَا حَاجَةَ لَهُ فِي النِّسَاءِ


















Hadits Imam Bukhori No. 1792

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, Syu'bah dari Al Hakam dari Ibrahim dari Al Aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium dan mencumbu (isteri-isteri Beliau) padahal Beliau sedang berpuasa. Dan Beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian". Dan Al Aswad berkata; Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata, istilah ma"aarib maknanya adalah keperluan (seperti dalam QS Thoha ayat 18) artinya hajat. Dan berkata, Thowus (seperti dalam QS An-Nuur ayat 31) artinya: orang dungu yang tidak punya keinginan lagi terhadap wanita.

Jalur Sanad Hadits :

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq
        Al Aswad bin Yazid bin Qias
          Ibrahim bin Yazid bin Qays
        Al Hakam bin Utaibah
         Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warad
         Sulaiman bin Harb bin Bujail

Biografi Perawi Hadits 
Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq
Kalangan Shahabat
Kuniyah : Ummu’ Abdullah
Negeri Semasa Hidup Madinah
Wafat : 58 H.

Al Aswad bin Yazid bin Qias
Kalangan Tabi’in kalangan Tua
Kuniyah : Abu Amru
Negeri Semasa Hidup kufah
Wafat : 75 H

Ibrahim bin Yazid bin Qays
Kalangan Tabi’in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Imrah
Negeri Semasa Hidup Kufah
Wafat : 96 H

Al Hakam bin Utaibah
Kalangan Tabi’in Kalangan Biasa
Kuniyah : Abu Muhammad
Negeri Semasa Hidup Kufah
Wafat : 113 H

Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warad
Kalangan Tabi’ut Tabi’in kalangan Tua
Kuniyah : Abu Bistham
Negeri semasa hidup Bashrah
Wafat : 160 H

Sulaiman bin Harb bin Bujail
Kalangan : Tabi’ut Tabi’in
Kuniyah : Abu Ayyub
Negeri Semasa Hidup Bashrah
Wafat : 224 H



 Penjelasan Subulussalam

 [سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencium istrinya padahal beliau sedang berpuasa, dan beliau menyentuh (bukan bersetubuh) istrinya padahal beliau sedang berpuasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan dirinya di antara kalian." Muttafaq Alaih, lafadz Muslim, dan ia (Muslim) menambahkan di dalam riwayatnya, "Pada bulan Ramadhan."

Tafsir Hadits

Para ulama berkata, "Maksud hadits ini, hendaklah kalian tidak melakukan ciuman. Janganlah kalian mengira bahwa kalian seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bisa mengendalikan dirinya dan tidak khawatir akan terjadi hal-hal yang lebih jauh, baik keluarnya mani, timbulnya syahwat, gejolak, dan lain sebagainya. Sedangkan kalian tidak bisa menjamin hal-hal tersebut tidak akan terjadi. Maka hanya ada satu jalan keluar untuk kalian, yaitu menahan diri untuk tidak melakukan ciuman."
An-Nasa'i meriwayatkan dari jalur Al-Aswad, "Aku bertanya kepada Aisyah, "Apakah laki-laki yang sedang berpuasa boleh mencium?" Beliau menjawab, "Tidak." Aku katakan, "Bukankah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyentuh [istrinya] padahal beliau sedang berpuasa?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan dirinya di antara kalian."
Zhahir hadits ini mengisyaratkan, bahwa menurut Aisyah hal tersebut merupakan kekhususan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Al-Qurthubi berkata, "Itu adalah ijtihad pribadinya."
Ada juga yang mengatakan, Aisyah berpendapat bahwa berciuman hukumnya makruh bagi selain Nabi, dan beliau tidak mengharamkannya. Hal itu berdasarkan ungkapan beliau, "Sesungguhnya beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan dirinya di antara kalian."
Di dalam Kitab As-Shiyam karya Abu Yusuf Al-Qadhi dari Hammad bin Salamah, "Aku bertanya kepada Aisyah tentang [hukum] bersentuhan untuk orang yang sedang berpuasa? Maka beliau memakruhkannya."
Zhahir hadits ini menunjukkan, bahwa berciuman dan menyentuh istri bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya boleh berdasarkan perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di samping itu, Aisyah menyebutkan masalah ini ketika beliau ditanya tentang
 hukum berciuman pada saat sedang berpuasa, dan jawaban beliau menunjukkan bolehnya hal tersebut berdasarkan perilaku Rasulullah.

Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat:

 1.            Makruh secara mutlak menurut Al-Malikiyah.

 2.            Haram, berdasarkan firman Allah,  {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} "Maka sekarang campurilah mereka." (QS. Al-Baqarah: 187) ayat tersebut melarang bersentuhan pada siang hari. Namun, pendapat ini dibantah bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah bersetubuh, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam hadits nomor ini. Ada golongan yang berpendapat bahwa berciuman itu haram. Mereka mengatakan bahwa bagi yang berciuman, maka puasanya batal.

 3.            Mubah, bahkan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya mustahab.

 4.            Ada perincian hukum masing-masing, yaitu makruh bagi anak muda dan mubah bagi orang tua. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,

«أَنَّهُ أَتَاهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - رَجُلٌ فَسَأَلَهُ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رُخِّصَ لَهُ شَيْخٌ وَاَلَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
\
"Bahwasanya seseorang telah datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu ia menanyakan hukum bersentuhan bagi orang yang sedang berpuasa, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan keringanan baginya, kemudian orang lain datang kepadanya menanyakan hal yang sama, namun Rasulullah melarangnya, dan ternyata orang yang mendapat izin ialah orang tua, sedangkan orang yang beliau larang ialah anak muda." [hasan shahih, Shahih Abi Dawud (2387).

    5.      Diperbolehkan bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya, jika tidak, maka tidak diperbolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Asy-Syafi'i, berdasarkan hadits:

«عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ لَمَّا سَأَلَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَخْبَرَتْهُ أُمُّهُ أُمُّ سَلَمَةَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَصْنَعُ ذَلِكَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَك مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِك وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ: إنِّي أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ»

             Umar bin Abi Salamah ketika bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ibunya, Ummu Salamah memberitahunya bahwa Rasulullah melakukan hal tersebut, maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni dosa-dosamu baik pada masa lalu maupun pada masa mendatang, maka beliau menjawab, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah, di antara kalian.” [shahih, Muslim (1110).]

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara orang muda dan orang tua, jika tidak, tentulah Nabi menjelaskannya kepada Umar, apalagi saat itu Umar baru saja memasuki masa akil baligh.
Dari penjelasan di atas sangatlah jelas bahwa pendapat yang memperbolehkan berciuman di siang hari di saat berpuasa lebih kuat.
Hal ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud:

«عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: هَشِشْت يَوْمًا فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْت النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقُلْت: صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟ قُلْت: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَفِيمَ»

dari Umar bin Khaththab, ia berkata, "Pada suatu hari aku sedang riang gembira, maka aku mencium [istriku] padahal saat itu aku sedang berpuasa, maka aku mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata, "Hari ini aku telah melakukan sesuatu yang besar, aku telah mencium istriku padahal aku sedang berpuasa." Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apa pendapatmu jika engkau berkumur-kumur dengan air padahal engkau sedang berpuasa?" Aku katakan, "Tidak apa-apa." Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika demikian, lalu kenapa?" [Shahih: Abi Dawud (2385).]

Para ulama berbeda pendapat bagaimana hukumnya jika orang yang mencium, melihat atau menyentuh [istrinya] lalu keluar mani atau madzi? Asy-Syafi'i dan yang lainnya berpendapat, bahwa orang tersebut harus mengqadha' puasanya jika keluarnya mani itu disebabkan karena mencium atau menyentuh [istrinya], tetapi jika keluarnya mani hanya karena sekadar melihat [istrinya] saja maka tidak wajib mengqadha'-, sedangkan keluarnya madzi tidak mewajibkan qadha' puasa.
Malik berkata, "Dalam semua kondisi orang tersebut harus mengqadha' puasa dan membayar denda, kecuali dalam masalah madzi, hanya wajib qadha' tanpa denda."
Dalam masalah ini masih terdapat berbagai pendapat, namun yang kelihatan kuat ialah bahwa orang tersebut tidak wajib mengqadha' dan tidak pula wajib membayar denda, kecuali jika orang tersebut bersetubuh. Dan menganalogikan orang yang tidak melakukan jima' terhadap orang yang melakukannya nampak sebagai analogi yang jauh -dari kebenaran-.

Catatan:

Ungkapan hadits, "... padahal beliau sedang berpuasa..." tidak menunjukkan secara langsung bahwa pada saat itu beliau mencium istrinya, dan istrinya sedang berpuasa juga. Ibnu Hibban telah meriwayatkan di dalam Shahih Ibni Hibban, dari Aisyah,

«كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ نِسَائِهِ فِي الْفَرِيضَةِ وَالتَّطَوُّعِ»

"Bahwasanya beliau mencium istri-istrinya pada puasa wajib maupun pada puasa sunnah." [Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 3545. Ebook editor]
Kemudian ia lanjutkan dengan sanadnya,

«أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا وَهِيَ صَائِمَةٌ»

"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyentuh wajah istrinya pada saat ia -istrinya- sedang berpuasa." [Munkar: Adh-Dhaifah 958. Ebook editor]

Lalu ia berkomentar, "Tidak ada pertentangan antara kedua hadits ini, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mampu mengendalikan dirinya, lalu beliau melakukan hal ini untuk menunjukkan bahwa hal itu hukumnya mubah, bagi orang yang seperti dirinya, lalu beliau tidak melakukannya pada saat istrinya sedang berpuasa, karena biasanya wanita lebih lemah, ketika menghadapi suatu perlakuan padanya."

   Pendapat Penulis
Dalam hadits secara tekstual menyatakan bahwa Rasulullah mencium Aisyah dan Mencumbunya. Dalam hadits itu tidak dijelaskan bahwa Rasulullah mencium apa ? apakah mencium kening, mencium pipi ataukah mencium tangan itu tidak di jelaskan dalam haditsnya.
   Kriteria mencium menurut penulis ada 2. Yang pertama mencium karena ciumman biasa seperti contoh , seorang suami akan pergi jauh merantau kemudian mencium istrinya untuk izin pergi. Ciuman seperti itu adalah yang dikatakan ciuman biasa yang dibolehkan ketika sedang berpuasa. Karena tidak menimbulkan nafsu birahi. Dan berciuman atau bercumbu seperti ini tidak bisa dikatakan membatalkan puasa, karena tidak bisa di ilatkan kepada hal-hal yang membatalkan puasa antara lain, Makan, minum , memasukan sesuatu kedalam dua lubang depan dan belakang, hilang akal berhubungan badan . Oleh karena itu penulis mengatakan bahwa ciuman yang seperti ini tidak membatalkan puasa akan tetapi bisa menimbulkan kemakhruhan ketika berpuasa. Kedua mencium atau bercumbu karena adanya sebuah hasrat ingin melakukan sebuah hubungan bilogis, ciuman ini yang tidak diperkenankan  karena bisa membatalkan puasa. Di ilatkan kepada hal-hal yang membatalkan puasa .
               Mabhum Mubadalahnya, Jika mencium Istri membatalkan Puasa seorang laki-laki (Suami) maka berlaku juga jika seorang  Istri mencium Suaminya Maka batallah puasa seorang Istri.
               Kesimpulan
                   Mencium atau berciuman saat sedang berpuasa tidak membatalkan tehadap puasa. Namun tetap mesti dihindari. Status hukumnya makruh apabila berciuman tersebut disertai dengan syahwat. Adapun apabila berciuman tersebut menyebabkan keluarnya air mani, atau tertelannya ludah pasangan, atau menjurung pada hubungan intim, maka tidak diperkenankan untuk berciuman. Hal tersebut dapat membatalkan puasa.
 1.            Makruh secara mutlak menurut Al-Malikiyah.

 2.            Haram, berdasarkan firman Allah,  {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} "Maka sekarang campurilah mereka." (QS. Al-Baqarah: 187) ayat tersebut melarang bersentuhan pada siang hari. Namun, pendapat ini dibantah bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah bersetubuh, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam hadits nomor ini. Ada golongan yang berpendapat bahwa berciuman itu haram. Mereka mengatakan bahwa bagi yang berciuman, maka puasanya batal.

 3.          Mubah, bahkan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya mustahab.

4.            Ada perincian hukum masing-masing, yaitu makruh bagi anak muda dan mubah bagi orang tua. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu

5.            Diperbolehkan bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya, jika tidak, maka tidak diperbolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Asy-Syafi'i,.


Waullahua’alam Bisawaf         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar