Minggu, 18 Desember 2016

Mamat Ubaidillah Selamat

HADIST NO - 6805
                              
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid almuqri' almakki telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al Had dari Muhammad bin Ibrahim bin Alharits dari Busr bin Sa'id dari Abu Qais mantan budak Amru bin 'Ash, dari 'Amru bin 'ash ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya dua pahala." Kata 'Amru, 'Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm, dan ia berkata, 'Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul 'Aziz bin Al Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Shallallahu'alaihiwa sallam semisalnya."
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فَقَالَ هَكَذَا حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ

Sanad hadits diatas ialah:
 Haiwa bin Syuraikh
Yazid bin Abdullah bin Al Had
dari Muhammad bin Ibrahim bin Alharits
dari Busr bin Sa'id
dari Abu Qais mantan budak Amru bin 'Ash,
dari 'Amru bin 'ash
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
PENDAPAT IMAM MADZHAB
Menurut iman syafi’I maliki dan hanbali bahwa seseorang yang ingin menjadi hakim agar bisa mengetahui syarat-syarat ijtidad dan tidak boleh sembarangan , sedangkan menurut Hanafi agar seorang yang berijtihad memegang jabatan hakim.
Menurut saya, bahwa ijtihad memang perlu dilakukan untuk membarengi atau menyesuaikan dengan perkembangan zaman, karena kalua tidak maka akan banyak pertanyaan dikalangan masyarakat yang belum ada hukumnya sekalipun bahkan orang-orang bisa dijerumuskan dengan aliran-aliran yang sesat yang saat I ni berkembang dimasyarakat.
PENJELASANNYA
Penjelasan Kalimat

"Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila seorang hakim (yakni apabila ia hendak memutuskan suatu perkara) bersungguh-sungguh (sebab ijtihad dilakukan sebelum menetapkan suatu hukum) dan keputusannya itu sesuai dengan kebenaran berarti ia telah mendapatkan dua pahala dan jika ternyata ia keliru (tidak sesuai dengan hukum Allah dan Rasul-Nya) maka ia mendapatkan satu pahala."

Tafsir Hadits

Hadits di atas menunjukkan bahwa Allah Ta'ala hanya memiliki satu ketetapan hukum untuk setiap perkara. Boleh jadi seseorang berada di atas hukum yang benar ketika mengamalkan hasil ijtihadnya dan mendapat taufiq dari Allah Ta'ala. Dengan demikian orang ini mendapatkan dua pahala; pahala ijtihad dan pahala karena telah menetapkan hukum yang benar. Akan tetapi bagi yang sudah melakukan ijtihad tetapi masih keliru dalam menetapkan hukum maka ia hanya mendapatkan satu pahala saja, yaitu pahala ijtihad. Namun, syaratnya harus dilakukan oleh seorang hakim yang sudah mencapai derajat mujtahid.

Pensyarah dan ulama lain berpendapat, yakni seorang yang sudah mapan dalam mengambil hukum syariat dari dalil-dalil syar'i.

Ia juga berkata, "Hanya saja derajat seperti ini hampir tidak ada, bahkan boleh dikatakan sudah tidak ada. Karena udzur ini, disyaratkan agar bertaklid terhadap seorang mujtahid yang ada pada madzhab imamnya serta mengetahui ushul dan dalil-dalil imamnya. Lantas dengan ushul tersebut ia menyimpulkan hukum untuk suatu perkara yang tidak ia dapati nashnya dalam madzhab imamnya."

Saya katakan, "Tidak syak lagi bahwa pendapat ini adalah pendapat yang batil, walaupun dapat dilakukan untuk beberapa perkara. Kebatilan pernyataan: adanya keudzuran dalam ijtihad, telah kami jelaskan dalam kitab kami yang tidak mungkin untuk disangkal, judulnya Irsyad An-Nuqad Ila Taisir Al-Ijtihad. Saya tidak melihat pernyataan ini kecuali sebagai kekufuran terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah Ta'ala kepada mereka. Sebab dengan pernyataan ini berarti seorang mujtahid mampu mengetahui dalil dan mengeluarkan sebuah hukum yang tidak diketahui oleh Itab bin Usaid Radhiyallahu Anhu hakim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk kota Mekah dan juga tidak diketahui oleh Abu Musa Radhiyallahu Anhu hakim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Yaman, atau Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu hakim beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam di Yaman, atau Umar dan Ali Radhiyallahu Anhuma yang pernah ditempatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai hakim di daerah Kufah. Hal ini lebih jelas lagi dengan pernyataan si pensyarah tadi: "Di antara syarat seorang muqallid: harus sudah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab imamnya." Alasannya karena inilah yang dikatakan ijtihad dengan menetapkan hukum tanpa mengetahu dalil secara keseluruhan. Kondisi mujtahid seperti ini ia sebut dengan istilah muta'adzdzir (yang dimaafkan).

Bukankah sebaiknya, mereka bertaklid kepada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari pada bertaklid kepada imam madzhab mereka? Bukankah lebih baik mereka meneliti nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah dari pada mencermati nas-nas atau ucapan imam-imam mereka, karena masing-masing lafazh yang dilontarkan tentunya mengandung makna sendiri-sendiri. Tidakkah lebih baik ia menukar makna dan lafazh yang digunakan imamnya dengan makna dan lafazh yang digunakan dalam syariat? Atau jika ia tidak mendapatkan nas yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukankah lebih baik ia mengeluarkan istimbat hukum langsung dari lafazh dan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tersebut, ketimbang ia menyimpulkan hukum dari lafazh dan makna ucapan sang imam? Demi Allah, sungguh orang yang melakukan hal ini berarti telah menukar suatu yang berharga dengan suatu yang rendah, menukar ma'rifah terhadap Al-Qur'an dan sunnah dengan ma'rifah terhadap ucapan-ucapan syeikh dan murid-muridnya, memahami maksud mereka dan meneliti setiap ucapan mereka.

Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam memiliki ucapan yang lebih mudah untuk dipahami serta lebih memiliki peluang besar dalam meraih kebenaran yang dimaksud. Sebab menurut ijma' para ulama, ucapan Al-Qur'an dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam mengandung makna yang sangat dalam, lebih mudah untuk diucapkan dan lebih enak untuk didengar serta lebih mudah untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Tentunya tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang-orang yang memiliki pikiran picik dan orang-orang yang tidak akan mendapatkan faedah dan manfaat. Pemahaman yang dipahami pada shahabat dari wahyu ilahi dan dari sabda Nabi, sama seperti pemahaman kita, akal mereka pun sama seperti akal mereka. Seandainya ada perbedaan tingkatan pemahaman maka gugurlah kewajiban untuk memahami ibarat-ibarat dari wahyu ilahi dan hadits-hadits Nabi, tidak ada perintah, tidak ada larangan, tidak ada ijtihad dan tidak ada juga yang nama taqlid.

Adapun yang pertama mustahil terjadi, sedangkan yang kedua: kita tidak boleh bersikap taqlid sehingga kita mengetahui mana perkara-perkara yang boleh dijadikan taqlid. Tentunya untuk mengetahui perkara mana saja yang membolehkan kita bersikap taqlid, harus paham terhadap dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan perkara yang dibolehkan bersikap taqlid. Sebab, tidak boleh bertaqlid dalam membolehkan bersikap taqlid.

Pemahaman yang dapat kami simpulkan dari dalil ini, sedikit banyak dapat kami gunakan untuk memahami dalil-dalil yang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah memberi persaksian bahwa boleh jadi ada orang-orang yang lebih paham dibandingkan dengan orang-orang yang hidup di zaman beliau. beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

«فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَفْقَهُ مِنْ سَامِعٍ»

"Terkadang orang yang diberi (berita) lebih faham dari pada orang yang mendengar (berita langsung)."

Dalam riwayat lain tercantum,

أَوْعَى لَهُ مِنْ سَامِعٍ

".... lebih mengerti dari pada orang yang mendengar (berita langsung)." [Shahih: At-Tirmidzi (2657)]

Pembicaran ini telah kami bicarakan secara panjang lebar dalam kitab yang telah kita sebutkan.

Di antara perkara yang baik untuk diketahui oleh seorang hakim adalah surat yang dikirimkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Syaikh Abu Ishaq berkata, "Surat ini termasuk surat yang paling agung yang menjelaskan bagaimana adab dan kriteria seorang hakim serta bagaimana cara berijtihad dan menyimpulkan hukum qiyas. Isinya adalah sebagai berikut:

"Amma ba'd.

Sesungguhnya pengadilan merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat diganggu gugat dan sunnah yang harus diikuti. Oleh karena itu gunakan akalmu, pemahamanmu dan banyaklah berdzikir. Ketahuilah! Apabila seseorang datang menunjukkan kepadamu sebuah bukti, maka putuskan kasusnya jika kamu dapat memahaminya dan laksanakan keputusan tersebut. Sebab tidak ada gunanya berbicara benar, namun tidak dilaksanakan. Tunjukkan sikap wibawa di wajahmu, di majelismu dan dalam pengadilanmu, sehingga orang-orang hartawan [bangsawan] tidak lagi berharap kamu berbuat aniaya dan orang lemah tidak putus asa akan keadilan yang kamu tegakkan. Bukti harus diajukan oleh yang memberi dakwaan sementara sumpah diucapkan oleh orang yang mengingkari dakwaan tersebut. Damai itu dibolehkan selama tidak untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Barangsiapa menyatakan hak milik untuk sesuatu yang tidak ada di tempatnya atau sesuatu yang ada di tempatnya, maka beri ia waktu hingga ia datang membawa bukti. Jika ia mampu memberikan bukti yang autentik maka berikan hak tersebut kepadanya. Jika ternyata tidak ada bukti maka kamu minta dari pendakwa agar merelakannya. Karena hal itu tepat untuk si pendakwa dan lebih baik untuk orang yang buta. Tidak masalah sekiranya kamu menarik keputusan yang pernah kamu putuskan dan beralih pada keputusan baru yang engkau yakini kebenarannya. Sebab kembali kepada kebenaran lebih baik dari pada bertahan dalam kebatilan.

Pahami benar-benar perkara yang masih engkau ragukan yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kenali sifat dan persamaan kasus dengan dalil yang ada lantas simpulkan hukum dengan cara mengqiyas dengan dalil yang sudah ada dan pegang keputusan yang lebih dekat kepada dan lebih mirip dengan kebenaran.

Semua orang muslim itu adil, kecuali orang yang pernah dijatuhi hukuman dera, atau seseorang yang pernah memberi persaksian palsu, atau yang ada hubungan wala’ (terhadap si terdakwa), atau ada hubungan nasab dan kerabat. Karena hal-hal yang rahasia diserahkan kepada Allah. Batalkan bukti (pendawa) dengan sumpah (si terdakwa).

Jangan sekali-kali kamu marah, kalut, cemas, merasa tersinggung dengan orang lain ketika menyelesaikan persengketaan. Pikirkanlah kasus persengketaan tersebut, sebab memutuskan perkara dengan benar akan mendapat ganjaran dari Allah Ta’ala dan patut untuk dikenang. Barangsiapa yang memiliki niat yang ikhlas dalam menegakkan kebenaran walaupun akan memberatkan dirinya sendiri maka Allah akan memberikannya kecukupan pada urusan antara ia dan orang lain. Barangsiapa yang bersikap yang bukan timbul dari hati nuraninya maka Allah akan murka kepadanya, karena Allah tidak menerima amalan seorang hamba kecuali yang ikhlas dari hatinya. Kemudian bagaimana dugaanmu tentang ganjaran dari Allah dalam bentuk rezeki yang secepatnya akan terwujud dan dengan perbendaharaan rahmat-Nya?

Wassalam.”

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu juga memiliki sebuah surat yang ia tujukan kepada gubernur Mesir, Al-Asytari. Surat tersebut berisikan beberapa nasehat, adab, peringatan dan hukum. Surat ini terkenal dalam kitab An-Nahj, hanya saja kami tidak menyajikannya karena sudah dikenal orang banyak.

Dari ucapan Umar Radhiyallahu Anhu dapat diketahui bahwa ia mengatakan batalnya keputusan hukum diambil seorang hakim apabila keputusannya tidak benar.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

«بَيْنَمَا امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا ابْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إحْدَاهُمَا فَقَالَتْ: هَذِهِ لِصَاحِبَتِهَا: إنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِك وَقَالَتْ الْأُخْرَى إنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِك فَتَحَاكَمَتَا إلَى دَاوُد - عَلَيْهِ السَّلَامُ - فَقَضَى بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجَتَا إلَى سُلَيْمَانَ فَأَخْبَرَتَاهُ فَقَالَ: ائْتُونِي بِالسِّكِّينِ أَشُقُّهُ بَيْنَكُمَا نِصْفَيْنِ فَقَالَتْ الصُّغْرَى: لَا تَفْعَلْ يَرْحَمُك اللَّهُ هُوَ ابْنُهَا فَقَضَى بِهِ لِلصُّغْرَى»

"Ada dua orang wanita yang masing-masing membawa anaknya. Lantas salah seorang dari anak mereka dimangsa oleh serigala. Temannya berkata, "Anakmu yang dibawa srigala." Sementara yang satu lagi berkata, "Tidak, bahkan yang dibawa itu adalah anakmu." Kemudian mereka mengangkat kasus tersebut kepada Nabi Dawud dan Nabi Dawud menetapkan anak tersebut milik yang lebih tua. Kemudian mereka keluar dan pergi ke Sulaiman bin Dawud dan menceritakan kasus yang sedang mereka alami. Sulaiman berkata, "Bawa kemari sebilah pisau biar bayi tersebut aku belah menjadi dua. Wanita yang lebih muda berkata, "Jangan lakukan hal itu, semoga Allah merahmati engkau. Bayi tersebut adalah anaknya.”Lantas Dawud menetapkan bahwa bayi tersebut adalah wanita yang muda tersebut.” [shahih, Al-Bukhari (3427) dan Muslim (1720)]

Dalam masalah ini para ulama terbagi pada dua pendapat:

Pendapat pertama: jika hukuman yang ditetapkan hakim itu salah, maka keputusan tersebut dianggap tidak sah.


Pendapat kedua: keputusan tersebut masih tetap dianggap sah, sebagaimana yang tercantum dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "... jika si hakim salah maka si ia tetap mendapatkan satu pahala."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar