HADIST NO - 6805
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid almuqri'
almakki telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah menceritakan
kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al Had dari Muhammad bin Ibrahim bin Alharits
dari Busr bin Sa'id dari Abu Qais mantan budak Amru bin 'Ash, dari 'Amru bin
'ash ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad,
kemudian ijtihadnya benar, maka
ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya
salah (meleset), baginya dua pahala." Kata 'Amru, 'Maka aku ceritakan
hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm, dan ia berkata, 'Beginilah Abu
Salamah bin Abdurrahman mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul
'Aziz bin Al Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Shallallahu'alaihiwa sallam
semisalnya."
|
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ
الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ
بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ قَالَ
فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فَقَالَ
هَكَذَا حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
|
Sanad hadits diatas ialah:
Haiwa bin Syuraikh
Yazid bin Abdullah bin Al Had
dari Muhammad bin Ibrahim bin Alharits
dari Busr bin Sa'id
dari Abu Qais mantan budak Amru bin 'Ash,
dari 'Amru bin 'ash
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
PENDAPAT IMAM MADZHAB
Menurut iman syafi’I maliki dan hanbali bahwa seseorang yang
ingin menjadi hakim agar bisa mengetahui syarat-syarat ijtidad dan tidak boleh
sembarangan , sedangkan menurut Hanafi agar seorang yang berijtihad memegang
jabatan hakim.
Menurut saya, bahwa ijtihad memang perlu dilakukan untuk
membarengi atau menyesuaikan dengan perkembangan zaman, karena kalua tidak maka
akan banyak pertanyaan dikalangan masyarakat yang belum ada hukumnya sekalipun
bahkan orang-orang bisa dijerumuskan dengan aliran-aliran yang sesat yang saat
I ni berkembang dimasyarakat.
PENJELASANNYA
Penjelasan Kalimat
"Dan
dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Apabila seorang hakim (yakni apabila ia hendak
memutuskan suatu perkara) bersungguh-sungguh (sebab ijtihad dilakukan sebelum
menetapkan suatu hukum) dan keputusannya itu sesuai dengan kebenaran berarti ia
telah mendapatkan dua pahala dan jika ternyata ia keliru (tidak sesuai dengan
hukum Allah dan Rasul-Nya) maka ia mendapatkan satu pahala."
Tafsir
Hadits
Hadits
di atas menunjukkan bahwa Allah Ta'ala hanya memiliki satu ketetapan hukum
untuk setiap perkara. Boleh jadi seseorang berada di atas hukum yang benar
ketika mengamalkan hasil ijtihadnya dan mendapat taufiq dari Allah Ta'ala.
Dengan demikian orang ini mendapatkan dua pahala; pahala ijtihad dan pahala
karena telah menetapkan hukum yang benar. Akan tetapi bagi yang sudah melakukan
ijtihad tetapi masih keliru dalam menetapkan hukum maka ia hanya mendapatkan
satu pahala saja, yaitu pahala ijtihad. Namun, syaratnya harus dilakukan oleh
seorang hakim yang sudah mencapai derajat mujtahid.
Pensyarah
dan ulama lain berpendapat, yakni seorang yang sudah mapan dalam mengambil
hukum syariat dari dalil-dalil syar'i.
Ia
juga berkata, "Hanya saja derajat seperti ini hampir tidak ada, bahkan
boleh dikatakan sudah tidak ada. Karena udzur ini, disyaratkan agar bertaklid
terhadap seorang mujtahid yang ada pada madzhab imamnya serta mengetahui ushul
dan dalil-dalil imamnya. Lantas dengan ushul tersebut ia menyimpulkan hukum
untuk suatu perkara yang tidak ia dapati nashnya dalam madzhab imamnya."
Saya
katakan, "Tidak syak lagi bahwa pendapat ini adalah pendapat yang batil,
walaupun dapat dilakukan untuk beberapa perkara. Kebatilan pernyataan: adanya
keudzuran dalam ijtihad, telah kami jelaskan dalam kitab kami yang tidak
mungkin untuk disangkal, judulnya Irsyad An-Nuqad Ila Taisir Al-Ijtihad. Saya
tidak melihat pernyataan ini kecuali sebagai kekufuran terhadap nikmat yang
telah dianugerahkan Allah Ta'ala kepada mereka. Sebab dengan pernyataan ini
berarti seorang mujtahid mampu mengetahui dalil dan mengeluarkan sebuah hukum
yang tidak diketahui oleh Itab bin Usaid Radhiyallahu Anhu hakim Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk kota Mekah dan juga tidak diketahui oleh Abu
Musa Radhiyallahu Anhu hakim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Yaman,
atau Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu hakim beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam
di Yaman, atau Umar dan Ali Radhiyallahu Anhuma yang pernah ditempatkan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai hakim di daerah Kufah. Hal ini
lebih jelas lagi dengan pernyataan si pensyarah tadi: "Di antara syarat
seorang muqallid: harus sudah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab
imamnya." Alasannya karena inilah yang dikatakan ijtihad dengan menetapkan
hukum tanpa mengetahu dalil secara keseluruhan. Kondisi mujtahid seperti ini ia
sebut dengan istilah muta'adzdzir (yang dimaafkan).
Bukankah
sebaiknya, mereka bertaklid kepada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dari pada bertaklid kepada imam madzhab mereka? Bukankah lebih
baik mereka meneliti nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah dari pada mencermati
nas-nas atau ucapan imam-imam mereka, karena masing-masing lafazh yang
dilontarkan tentunya mengandung makna sendiri-sendiri. Tidakkah lebih baik ia
menukar makna dan lafazh yang digunakan imamnya dengan makna dan lafazh yang
digunakan dalam syariat? Atau jika ia tidak mendapatkan nas yang jelas dari
Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukankah lebih baik ia mengeluarkan istimbat hukum
langsung dari lafazh dan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
tersebut, ketimbang ia menyimpulkan hukum dari lafazh dan makna ucapan sang imam?
Demi Allah, sungguh orang yang melakukan hal ini berarti telah menukar suatu
yang berharga dengan suatu yang rendah, menukar ma'rifah terhadap Al-Qur'an dan
sunnah dengan ma'rifah terhadap ucapan-ucapan syeikh dan murid-muridnya,
memahami maksud mereka dan meneliti setiap ucapan mereka.
Suatu
hal yang tidak dapat disangkal bahwa Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa
Sallam memiliki ucapan yang lebih mudah untuk dipahami serta lebih memiliki
peluang besar dalam meraih kebenaran yang dimaksud. Sebab menurut ijma' para
ulama, ucapan Al-Qur'an dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam mengandung
makna yang sangat dalam, lebih mudah untuk diucapkan dan lebih enak untuk
didengar serta lebih mudah untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Tentunya
tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang-orang yang memiliki pikiran
picik dan orang-orang yang tidak akan mendapatkan faedah dan manfaat. Pemahaman
yang dipahami pada shahabat dari wahyu ilahi dan dari sabda Nabi, sama seperti
pemahaman kita, akal mereka pun sama seperti akal mereka. Seandainya ada
perbedaan tingkatan pemahaman maka gugurlah kewajiban untuk memahami
ibarat-ibarat dari wahyu ilahi dan hadits-hadits Nabi, tidak ada perintah,
tidak ada larangan, tidak ada ijtihad dan tidak ada juga yang nama taqlid.
Adapun
yang pertama mustahil terjadi, sedangkan yang kedua: kita tidak boleh bersikap
taqlid sehingga kita mengetahui mana perkara-perkara yang boleh dijadikan
taqlid. Tentunya untuk mengetahui perkara mana saja yang membolehkan kita
bersikap taqlid, harus paham terhadap dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang
menunjukkan perkara yang dibolehkan bersikap taqlid. Sebab, tidak boleh
bertaqlid dalam membolehkan bersikap taqlid.
Pemahaman
yang dapat kami simpulkan dari dalil ini, sedikit banyak dapat kami gunakan
untuk memahami dalil-dalil yang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
sendiri telah memberi persaksian bahwa boleh jadi ada orang-orang yang lebih
paham dibandingkan dengan orang-orang yang hidup di zaman beliau. beliau
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
«فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَفْقَهُ مِنْ سَامِعٍ»
"Terkadang
orang yang diberi (berita) lebih faham dari pada orang yang mendengar (berita
langsung)."
Dalam
riwayat lain tercantum,
أَوْعَى لَهُ مِنْ سَامِعٍ
"....
lebih mengerti dari pada orang yang mendengar (berita langsung)." [Shahih:
At-Tirmidzi (2657)]
Pembicaran
ini telah kami bicarakan secara panjang lebar dalam kitab yang telah kita
sebutkan.
Di
antara perkara yang baik untuk diketahui oleh seorang hakim adalah surat yang
dikirimkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Syaikh Abu Ishaq
berkata, "Surat ini termasuk surat yang paling agung yang menjelaskan
bagaimana adab dan kriteria seorang hakim serta bagaimana cara berijtihad dan
menyimpulkan hukum qiyas. Isinya adalah sebagai berikut:
"Amma
ba'd.
Sesungguhnya
pengadilan merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat diganggu gugat dan sunnah
yang harus diikuti. Oleh karena itu gunakan akalmu, pemahamanmu dan banyaklah berdzikir.
Ketahuilah! Apabila seseorang datang menunjukkan kepadamu sebuah bukti, maka
putuskan kasusnya jika kamu dapat memahaminya dan laksanakan keputusan
tersebut. Sebab tidak ada gunanya berbicara benar, namun tidak dilaksanakan.
Tunjukkan sikap wibawa di wajahmu, di majelismu dan dalam pengadilanmu,
sehingga orang-orang hartawan [bangsawan] tidak lagi berharap kamu berbuat
aniaya dan orang lemah tidak putus asa akan keadilan yang kamu tegakkan. Bukti
harus diajukan oleh yang memberi dakwaan sementara sumpah diucapkan oleh orang
yang mengingkari dakwaan tersebut. Damai itu dibolehkan selama tidak untuk
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Barangsiapa menyatakan hak
milik untuk sesuatu yang tidak ada di tempatnya atau sesuatu yang ada di tempatnya,
maka beri ia waktu hingga ia datang membawa bukti. Jika ia mampu memberikan
bukti yang autentik maka berikan hak tersebut kepadanya. Jika ternyata tidak
ada bukti maka kamu minta dari pendakwa agar merelakannya. Karena hal itu tepat
untuk si pendakwa dan lebih baik untuk orang yang buta. Tidak masalah sekiranya
kamu menarik keputusan yang pernah kamu putuskan dan beralih pada keputusan
baru yang engkau yakini kebenarannya. Sebab kembali kepada kebenaran lebih baik
dari pada bertahan dalam kebatilan.
Pahami
benar-benar perkara yang masih engkau ragukan yang tidak tercantum dalam
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kenali sifat dan
persamaan kasus dengan dalil yang ada lantas simpulkan hukum dengan cara
mengqiyas dengan dalil yang sudah ada dan pegang keputusan yang lebih dekat
kepada dan lebih mirip dengan kebenaran.
Semua
orang muslim itu adil, kecuali orang yang pernah dijatuhi hukuman dera, atau
seseorang yang pernah memberi persaksian palsu, atau yang ada hubungan wala’
(terhadap si terdakwa), atau ada hubungan nasab dan kerabat. Karena hal-hal
yang rahasia diserahkan kepada Allah. Batalkan bukti (pendawa) dengan sumpah
(si terdakwa).
Jangan
sekali-kali kamu marah, kalut, cemas, merasa tersinggung dengan orang lain ketika
menyelesaikan persengketaan. Pikirkanlah kasus persengketaan tersebut, sebab
memutuskan perkara dengan benar akan mendapat ganjaran dari Allah Ta’ala dan
patut untuk dikenang. Barangsiapa yang memiliki niat yang ikhlas dalam
menegakkan kebenaran walaupun akan memberatkan dirinya sendiri maka Allah akan
memberikannya kecukupan pada urusan antara ia dan orang lain. Barangsiapa yang
bersikap yang bukan timbul dari hati nuraninya maka Allah akan murka kepadanya,
karena Allah tidak menerima amalan seorang hamba kecuali yang ikhlas dari
hatinya. Kemudian bagaimana dugaanmu tentang ganjaran dari Allah dalam bentuk
rezeki yang secepatnya akan terwujud dan dengan perbendaharaan rahmat-Nya?
Wassalam.”
Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu juga memiliki sebuah surat yang
ia tujukan kepada gubernur Mesir, Al-Asytari. Surat tersebut berisikan beberapa
nasehat, adab, peringatan dan hukum. Surat ini terkenal dalam kitab An-Nahj,
hanya saja kami tidak menyajikannya karena sudah dikenal orang banyak.
Dari
ucapan Umar Radhiyallahu Anhu dapat diketahui bahwa ia mengatakan batalnya
keputusan hukum diambil seorang hakim apabila keputusannya tidak benar.
Hal
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam pernah bersabda,
«بَيْنَمَا امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا ابْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ
فَذَهَبَ بِابْنِ إحْدَاهُمَا فَقَالَتْ: هَذِهِ لِصَاحِبَتِهَا: إنَّمَا ذَهَبَ
بِابْنِك وَقَالَتْ الْأُخْرَى إنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِك فَتَحَاكَمَتَا إلَى
دَاوُد - عَلَيْهِ السَّلَامُ - فَقَضَى بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجَتَا إلَى
سُلَيْمَانَ فَأَخْبَرَتَاهُ فَقَالَ: ائْتُونِي بِالسِّكِّينِ أَشُقُّهُ
بَيْنَكُمَا نِصْفَيْنِ فَقَالَتْ الصُّغْرَى: لَا تَفْعَلْ يَرْحَمُك اللَّهُ هُوَ
ابْنُهَا فَقَضَى بِهِ لِلصُّغْرَى»
"Ada
dua orang wanita yang masing-masing membawa anaknya. Lantas salah seorang dari
anak mereka dimangsa oleh serigala. Temannya berkata, "Anakmu yang dibawa
srigala." Sementara yang satu lagi berkata, "Tidak, bahkan yang
dibawa itu adalah anakmu." Kemudian mereka mengangkat kasus tersebut
kepada Nabi Dawud dan Nabi Dawud menetapkan anak tersebut milik yang lebih tua.
Kemudian mereka keluar dan pergi ke Sulaiman bin Dawud dan menceritakan kasus
yang sedang mereka alami. Sulaiman berkata, "Bawa kemari sebilah pisau
biar bayi tersebut aku belah menjadi dua. Wanita yang lebih muda berkata,
"Jangan lakukan hal itu, semoga Allah merahmati engkau. Bayi tersebut
adalah anaknya.”Lantas Dawud menetapkan bahwa bayi tersebut adalah wanita yang
muda tersebut.” [shahih, Al-Bukhari (3427) dan Muslim (1720)]
Dalam
masalah ini para ulama terbagi pada dua pendapat:
Pendapat
pertama: jika hukuman yang ditetapkan hakim itu salah, maka keputusan tersebut
dianggap tidak sah.
Pendapat
kedua: keputusan tersebut masih tetap dianggap sah, sebagaimana yang tercantum
dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "... jika si hakim
salah maka si ia tetap mendapatkan satu pahala."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar