Minggu, 18 Desember 2016

Ofah Musyarofah

HADITS NO 1346







Artinya;
            Dari Jabir dia perkata: Pada waktu perang khaibar, Rasulullah melarang makan daging keledai negeri (piaraan), dan memperbolehkan makan daging-daging kuda. Muttafaq alaih. Menurut lafal hadits riwayat bukhari:….. beliau memberi kelonggaran.

Sanad  hadits
            Pertama, daging kudahukumnya halal untuk dikonsumsi, ini adalah pendapat mayoritas ulama, berdasarkan beberapa hadits berikut.
1.      Dari Jabir bin Abdullah R.A beliau mengatakan






Artinya;
            Pada penaklukan khaibar, Rasulullah SAW makan daging keledai jinak, dan beliau membolehkan daging kuda (HR. bukhari dan muslim)
2.      Dari Asma bintu Abu bakr R.A beliau mengatakan





Artinya;
            Kami pernah menyembelih kuda dimasa Nabi SAW dan kami memakannya.
 (HR. bukhari dan muslim)
3.      Dari jabir bin Abdullah RA beliau menceritakan





Artinya;
            Kami pernah bersafar bersama Nabi SAW, dan kami makan daging kuda dan susunya (HR. Ad-Daruquthni, al-Baihaqi, An-Nawawimengatakan : sanadnya shahih)

Kedua, daging kuda hukumnya makruh untuk dimakan ini adalah pendapat Hanifah dan dua murid dekatnya: Abu Yusuf dan  Muhammad bin Hasan asy-syaibani.
Dalil pendapat ini adalah
1.      Di surat an- Nahl ayat 5 -7, allah menyebutkan tentang Bahimatul An’am (onta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan kemudian diayat ke 8 allah menyebutkan jenis hewan yang lain.






Artinya;
Dia menciptakan kuda, bighal, ( peranan kuda dengan keledai ),dan keledai, agar bisa kalian tunganggi dan sebagai hiasan. Dia juga menciptakan makna yang tidak kalian ketahui  (QS. An-nahl)
Diayat ke 8 ini Allah tidak menyebutkan fungsi mereka untuk dimakan. Pada hal Allah sebutkan manfaat dimakan pada bahimatul an’am yang yang disebutkan diayat sebelumnya.
Sanggahan:
Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda adalah  menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya. Disebutkan manfaat bisa ditunganggi dan sebagai hiasan karena umumnya manfaat yang diambil dari kuda.






2.      Hadits dari Khalid bin walid RA





Artinya;
            Rasulullah SAW melarang daging kuda,bighal, khimar, dan semua hewan yang buas dan bertaring (HR Abu dawud, An nasdi, dan ibnu majah).

            Sanggahan
            Hadits ini di nilai dhaif oleh banyak ulama, An-Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan






Artinya;
            Ulama ahli hadits dan yang lainnya sepakat bahwa hadits ini adalah hadits dhaif.sebagian ada yang mengatakan: hadits ini mansukh .
            Kemudian an-nawawi menyebutkan beberapa penilaian ulama tentang hadits ini:
a)      Al-hafidz musa bin harus al-hammal mengatakan



Artinya;
          Ini hadits dhaif
b)      Imam Bukhari mengatakan



Artinya;
          Hadits ini sangat dhaif.
c)      Al-Baihaqimengatakan




\
Artinya;
          Hadits ini sanadnya goncang, disamping itu, bertentangan dengan hadits shahih (yang membolehkan makan kuda).
d)      Abu Daud perawi hadits mrngatakan



Artinya;
          Hadits ini mansukh




Referensi: fatwa islam no 70320

Sumber:
            https://konsultassyariah.com/14846-makan-daging-kuda.html


Mamat Ubaidillah Selamat

HADIST NO - 6805
                              
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid almuqri' almakki telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al Had dari Muhammad bin Ibrahim bin Alharits dari Busr bin Sa'id dari Abu Qais mantan budak Amru bin 'Ash, dari 'Amru bin 'ash ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya dua pahala." Kata 'Amru, 'Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm, dan ia berkata, 'Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul 'Aziz bin Al Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Shallallahu'alaihiwa sallam semisalnya."
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فَقَالَ هَكَذَا حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ

Sanad hadits diatas ialah:
 Haiwa bin Syuraikh
Yazid bin Abdullah bin Al Had
dari Muhammad bin Ibrahim bin Alharits
dari Busr bin Sa'id
dari Abu Qais mantan budak Amru bin 'Ash,
dari 'Amru bin 'ash
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
PENDAPAT IMAM MADZHAB
Menurut iman syafi’I maliki dan hanbali bahwa seseorang yang ingin menjadi hakim agar bisa mengetahui syarat-syarat ijtidad dan tidak boleh sembarangan , sedangkan menurut Hanafi agar seorang yang berijtihad memegang jabatan hakim.
Menurut saya, bahwa ijtihad memang perlu dilakukan untuk membarengi atau menyesuaikan dengan perkembangan zaman, karena kalua tidak maka akan banyak pertanyaan dikalangan masyarakat yang belum ada hukumnya sekalipun bahkan orang-orang bisa dijerumuskan dengan aliran-aliran yang sesat yang saat I ni berkembang dimasyarakat.
PENJELASANNYA
Penjelasan Kalimat

"Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila seorang hakim (yakni apabila ia hendak memutuskan suatu perkara) bersungguh-sungguh (sebab ijtihad dilakukan sebelum menetapkan suatu hukum) dan keputusannya itu sesuai dengan kebenaran berarti ia telah mendapatkan dua pahala dan jika ternyata ia keliru (tidak sesuai dengan hukum Allah dan Rasul-Nya) maka ia mendapatkan satu pahala."

Tafsir Hadits

Hadits di atas menunjukkan bahwa Allah Ta'ala hanya memiliki satu ketetapan hukum untuk setiap perkara. Boleh jadi seseorang berada di atas hukum yang benar ketika mengamalkan hasil ijtihadnya dan mendapat taufiq dari Allah Ta'ala. Dengan demikian orang ini mendapatkan dua pahala; pahala ijtihad dan pahala karena telah menetapkan hukum yang benar. Akan tetapi bagi yang sudah melakukan ijtihad tetapi masih keliru dalam menetapkan hukum maka ia hanya mendapatkan satu pahala saja, yaitu pahala ijtihad. Namun, syaratnya harus dilakukan oleh seorang hakim yang sudah mencapai derajat mujtahid.

Pensyarah dan ulama lain berpendapat, yakni seorang yang sudah mapan dalam mengambil hukum syariat dari dalil-dalil syar'i.

Ia juga berkata, "Hanya saja derajat seperti ini hampir tidak ada, bahkan boleh dikatakan sudah tidak ada. Karena udzur ini, disyaratkan agar bertaklid terhadap seorang mujtahid yang ada pada madzhab imamnya serta mengetahui ushul dan dalil-dalil imamnya. Lantas dengan ushul tersebut ia menyimpulkan hukum untuk suatu perkara yang tidak ia dapati nashnya dalam madzhab imamnya."

Saya katakan, "Tidak syak lagi bahwa pendapat ini adalah pendapat yang batil, walaupun dapat dilakukan untuk beberapa perkara. Kebatilan pernyataan: adanya keudzuran dalam ijtihad, telah kami jelaskan dalam kitab kami yang tidak mungkin untuk disangkal, judulnya Irsyad An-Nuqad Ila Taisir Al-Ijtihad. Saya tidak melihat pernyataan ini kecuali sebagai kekufuran terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah Ta'ala kepada mereka. Sebab dengan pernyataan ini berarti seorang mujtahid mampu mengetahui dalil dan mengeluarkan sebuah hukum yang tidak diketahui oleh Itab bin Usaid Radhiyallahu Anhu hakim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk kota Mekah dan juga tidak diketahui oleh Abu Musa Radhiyallahu Anhu hakim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Yaman, atau Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu hakim beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam di Yaman, atau Umar dan Ali Radhiyallahu Anhuma yang pernah ditempatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai hakim di daerah Kufah. Hal ini lebih jelas lagi dengan pernyataan si pensyarah tadi: "Di antara syarat seorang muqallid: harus sudah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab imamnya." Alasannya karena inilah yang dikatakan ijtihad dengan menetapkan hukum tanpa mengetahu dalil secara keseluruhan. Kondisi mujtahid seperti ini ia sebut dengan istilah muta'adzdzir (yang dimaafkan).

Bukankah sebaiknya, mereka bertaklid kepada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari pada bertaklid kepada imam madzhab mereka? Bukankah lebih baik mereka meneliti nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah dari pada mencermati nas-nas atau ucapan imam-imam mereka, karena masing-masing lafazh yang dilontarkan tentunya mengandung makna sendiri-sendiri. Tidakkah lebih baik ia menukar makna dan lafazh yang digunakan imamnya dengan makna dan lafazh yang digunakan dalam syariat? Atau jika ia tidak mendapatkan nas yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukankah lebih baik ia mengeluarkan istimbat hukum langsung dari lafazh dan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tersebut, ketimbang ia menyimpulkan hukum dari lafazh dan makna ucapan sang imam? Demi Allah, sungguh orang yang melakukan hal ini berarti telah menukar suatu yang berharga dengan suatu yang rendah, menukar ma'rifah terhadap Al-Qur'an dan sunnah dengan ma'rifah terhadap ucapan-ucapan syeikh dan murid-muridnya, memahami maksud mereka dan meneliti setiap ucapan mereka.

Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam memiliki ucapan yang lebih mudah untuk dipahami serta lebih memiliki peluang besar dalam meraih kebenaran yang dimaksud. Sebab menurut ijma' para ulama, ucapan Al-Qur'an dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam mengandung makna yang sangat dalam, lebih mudah untuk diucapkan dan lebih enak untuk didengar serta lebih mudah untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Tentunya tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang-orang yang memiliki pikiran picik dan orang-orang yang tidak akan mendapatkan faedah dan manfaat. Pemahaman yang dipahami pada shahabat dari wahyu ilahi dan dari sabda Nabi, sama seperti pemahaman kita, akal mereka pun sama seperti akal mereka. Seandainya ada perbedaan tingkatan pemahaman maka gugurlah kewajiban untuk memahami ibarat-ibarat dari wahyu ilahi dan hadits-hadits Nabi, tidak ada perintah, tidak ada larangan, tidak ada ijtihad dan tidak ada juga yang nama taqlid.

Adapun yang pertama mustahil terjadi, sedangkan yang kedua: kita tidak boleh bersikap taqlid sehingga kita mengetahui mana perkara-perkara yang boleh dijadikan taqlid. Tentunya untuk mengetahui perkara mana saja yang membolehkan kita bersikap taqlid, harus paham terhadap dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan perkara yang dibolehkan bersikap taqlid. Sebab, tidak boleh bertaqlid dalam membolehkan bersikap taqlid.

Pemahaman yang dapat kami simpulkan dari dalil ini, sedikit banyak dapat kami gunakan untuk memahami dalil-dalil yang lain. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah memberi persaksian bahwa boleh jadi ada orang-orang yang lebih paham dibandingkan dengan orang-orang yang hidup di zaman beliau. beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

«فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَفْقَهُ مِنْ سَامِعٍ»

"Terkadang orang yang diberi (berita) lebih faham dari pada orang yang mendengar (berita langsung)."

Dalam riwayat lain tercantum,

أَوْعَى لَهُ مِنْ سَامِعٍ

".... lebih mengerti dari pada orang yang mendengar (berita langsung)." [Shahih: At-Tirmidzi (2657)]

Pembicaran ini telah kami bicarakan secara panjang lebar dalam kitab yang telah kita sebutkan.

Di antara perkara yang baik untuk diketahui oleh seorang hakim adalah surat yang dikirimkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Syaikh Abu Ishaq berkata, "Surat ini termasuk surat yang paling agung yang menjelaskan bagaimana adab dan kriteria seorang hakim serta bagaimana cara berijtihad dan menyimpulkan hukum qiyas. Isinya adalah sebagai berikut:

"Amma ba'd.

Sesungguhnya pengadilan merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat diganggu gugat dan sunnah yang harus diikuti. Oleh karena itu gunakan akalmu, pemahamanmu dan banyaklah berdzikir. Ketahuilah! Apabila seseorang datang menunjukkan kepadamu sebuah bukti, maka putuskan kasusnya jika kamu dapat memahaminya dan laksanakan keputusan tersebut. Sebab tidak ada gunanya berbicara benar, namun tidak dilaksanakan. Tunjukkan sikap wibawa di wajahmu, di majelismu dan dalam pengadilanmu, sehingga orang-orang hartawan [bangsawan] tidak lagi berharap kamu berbuat aniaya dan orang lemah tidak putus asa akan keadilan yang kamu tegakkan. Bukti harus diajukan oleh yang memberi dakwaan sementara sumpah diucapkan oleh orang yang mengingkari dakwaan tersebut. Damai itu dibolehkan selama tidak untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Barangsiapa menyatakan hak milik untuk sesuatu yang tidak ada di tempatnya atau sesuatu yang ada di tempatnya, maka beri ia waktu hingga ia datang membawa bukti. Jika ia mampu memberikan bukti yang autentik maka berikan hak tersebut kepadanya. Jika ternyata tidak ada bukti maka kamu minta dari pendakwa agar merelakannya. Karena hal itu tepat untuk si pendakwa dan lebih baik untuk orang yang buta. Tidak masalah sekiranya kamu menarik keputusan yang pernah kamu putuskan dan beralih pada keputusan baru yang engkau yakini kebenarannya. Sebab kembali kepada kebenaran lebih baik dari pada bertahan dalam kebatilan.

Pahami benar-benar perkara yang masih engkau ragukan yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kenali sifat dan persamaan kasus dengan dalil yang ada lantas simpulkan hukum dengan cara mengqiyas dengan dalil yang sudah ada dan pegang keputusan yang lebih dekat kepada dan lebih mirip dengan kebenaran.

Semua orang muslim itu adil, kecuali orang yang pernah dijatuhi hukuman dera, atau seseorang yang pernah memberi persaksian palsu, atau yang ada hubungan wala’ (terhadap si terdakwa), atau ada hubungan nasab dan kerabat. Karena hal-hal yang rahasia diserahkan kepada Allah. Batalkan bukti (pendawa) dengan sumpah (si terdakwa).

Jangan sekali-kali kamu marah, kalut, cemas, merasa tersinggung dengan orang lain ketika menyelesaikan persengketaan. Pikirkanlah kasus persengketaan tersebut, sebab memutuskan perkara dengan benar akan mendapat ganjaran dari Allah Ta’ala dan patut untuk dikenang. Barangsiapa yang memiliki niat yang ikhlas dalam menegakkan kebenaran walaupun akan memberatkan dirinya sendiri maka Allah akan memberikannya kecukupan pada urusan antara ia dan orang lain. Barangsiapa yang bersikap yang bukan timbul dari hati nuraninya maka Allah akan murka kepadanya, karena Allah tidak menerima amalan seorang hamba kecuali yang ikhlas dari hatinya. Kemudian bagaimana dugaanmu tentang ganjaran dari Allah dalam bentuk rezeki yang secepatnya akan terwujud dan dengan perbendaharaan rahmat-Nya?

Wassalam.”

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu juga memiliki sebuah surat yang ia tujukan kepada gubernur Mesir, Al-Asytari. Surat tersebut berisikan beberapa nasehat, adab, peringatan dan hukum. Surat ini terkenal dalam kitab An-Nahj, hanya saja kami tidak menyajikannya karena sudah dikenal orang banyak.

Dari ucapan Umar Radhiyallahu Anhu dapat diketahui bahwa ia mengatakan batalnya keputusan hukum diambil seorang hakim apabila keputusannya tidak benar.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,

«بَيْنَمَا امْرَأَتَانِ مَعَهُمَا ابْنَاهُمَا جَاءَ الذِّئْبُ فَذَهَبَ بِابْنِ إحْدَاهُمَا فَقَالَتْ: هَذِهِ لِصَاحِبَتِهَا: إنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِك وَقَالَتْ الْأُخْرَى إنَّمَا ذَهَبَ بِابْنِك فَتَحَاكَمَتَا إلَى دَاوُد - عَلَيْهِ السَّلَامُ - فَقَضَى بِهِ لِلْكُبْرَى فَخَرَجَتَا إلَى سُلَيْمَانَ فَأَخْبَرَتَاهُ فَقَالَ: ائْتُونِي بِالسِّكِّينِ أَشُقُّهُ بَيْنَكُمَا نِصْفَيْنِ فَقَالَتْ الصُّغْرَى: لَا تَفْعَلْ يَرْحَمُك اللَّهُ هُوَ ابْنُهَا فَقَضَى بِهِ لِلصُّغْرَى»

"Ada dua orang wanita yang masing-masing membawa anaknya. Lantas salah seorang dari anak mereka dimangsa oleh serigala. Temannya berkata, "Anakmu yang dibawa srigala." Sementara yang satu lagi berkata, "Tidak, bahkan yang dibawa itu adalah anakmu." Kemudian mereka mengangkat kasus tersebut kepada Nabi Dawud dan Nabi Dawud menetapkan anak tersebut milik yang lebih tua. Kemudian mereka keluar dan pergi ke Sulaiman bin Dawud dan menceritakan kasus yang sedang mereka alami. Sulaiman berkata, "Bawa kemari sebilah pisau biar bayi tersebut aku belah menjadi dua. Wanita yang lebih muda berkata, "Jangan lakukan hal itu, semoga Allah merahmati engkau. Bayi tersebut adalah anaknya.”Lantas Dawud menetapkan bahwa bayi tersebut adalah wanita yang muda tersebut.” [shahih, Al-Bukhari (3427) dan Muslim (1720)]

Dalam masalah ini para ulama terbagi pada dua pendapat:

Pendapat pertama: jika hukuman yang ditetapkan hakim itu salah, maka keputusan tersebut dianggap tidak sah.


Pendapat kedua: keputusan tersebut masih tetap dianggap sah, sebagaimana yang tercantum dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "... jika si hakim salah maka si ia tetap mendapatkan satu pahala."

Rabu, 14 Desember 2016

Sidik Muhidin

Nama : sidik muhidin
Jurusan/Smt : AAS-A/3
Tugas Mandiri
Hadits no. 1049 kitab bulughul marom
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتنَا، فَإِنَّهُ إنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
948. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika seorang di antara kamu ingin menggauli istrinya lalu membaca doa, "Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan terhadap apa yang Engkau anugerahkan kepada kami", maka jika ditakdirkan dari hubungan suami istri itu menghasilkan seorang anak, setan tidak akan mengganggu [anak itu] selamanya." (Muttafaq Alaih)
[shahih, Al-Bukhari (141), Muslim (1434)]
ـــــــــــــــــــ
Abdullah bin 'Abbas bin
'Abdul Muthallib bin
Hasyim
ــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini menurut lafazh Muslim. Hadits ini mengajarkan tentang bacaan doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika hendak melakukan hubungan suami istri.
Riwayat ini merupakan penafsiran riwayat, "Seandainya seorang di antara kamu ingin menggauli istrinya." diriwayatkan Al-Bukhari maksudnya ketika hendak melakukannya. Dan kata ganti dalam lafazh "جَنِّبْنَا" untuk suami dan istri. Dalam riwayat Ath-Thabrani " جَنِّبْنِي " (jauhkanlah saya) dan " جَنِّبْ مَا رَزَقْتنِي” (dan jauhkan apa yang Engkau anugerahkan kepadaku) dengan kata ganti satu orang; maka setan tidak akan mengganggu selamanya.
Al-Qadhi Iyadh berkata, "Maksud dari doa itu bukan menghilangkan segala macam gangguan, walaupun zhahirnya menunjukkan segala macam gangguan. Karena penggunaan kata peniadaan untuk selamanya; berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa semua anak Adam yang baru dilahirkan akan dicubit [ditusuk] oleh setan kecuali Maryam dan anaknya, bukankah cubitan itu bagian dari gangguan! Walaupun cubitan itu membuat si bayi menangis-menangis pertanda lahir dengan selamat.
Saya katakan, "Pendapat Al-Qadhi ini didasarkan pada keumuman gangguan baik yang bersifat duniawi maupun agama." Ada yang berpendapat: hal-hal yang bersifat agama yang tidak bisa diganggu, dan termasuk golongan hamba Allah yang dikatakan dalam firman-Nya, "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka." (QS. Al-Hijr: 42), diperkuat dengan hadits yang riwayatkan Abdurrazzaq dari Al-Hasan, "Dia berharap jika [istrinya] hamil, semoga kelak anaknya menjadi anak yang shalih." Dan ini dinilai mursal, namun tidak boleh dikatakan bahwa itu hanyalah pendapat semata.
Ibnu Daqiq Al-Id -Rahimahullah- berkata, "Mungkin tidak diganggu dalam pelaksanaan agamanya, akan tetapi bila demikian berarti dijaga dari melakukan dosa dan ini hanya berlaku bagi para Nabi." Pendapat ini dibantah, bahwa penjagaan dari setan itu adalah wajib bagi para Nabi, sedangkan yang lainnya mendapatkan perlin-dungan juga bila didoakan dan sangat mungkin ada seorang yang tidak pernah berbuat dosa dengan sengaja, walaupun hal itu tidak mutlak ada. Ada yang mengatakan, "Tidak akan diganggu", yakni tidak akan diganggu yang menyebabkan keluar dari agama Islam, dan bukan tidak pernah melakukan maksiat. Ada yang berpendapat, "Tidak akan diganggu" yakni setan tidak akan ikut-ikutan sang suami ketika menggauli istrinya, hal ini diperkuat dengan riwayat Mujahid yang menerangkan bila seorang tidak membaca basmalah [berdo'a] ketika menggauli istri; maka setan ikut membantu sang suami ketika menggauli istrinya. Ada yang mengatakan, pendapat inilah yang paling tepat.
Saya katakan, "Hanya saja tidak disebutkan siapa yang meriwayatkan dari Mujahid, dan ternyata riwayat mujahid itu adalah mursal. Kemudian hadits menyebutkan faedah bagi si anak kelak yang tidak akan terwujud kecuali dengan hal tersebut. Atau dengan penjelasan, karena setan tidak bisa membantu sang suami ketika berhubungan dengan istrinya, maka faedah doa yang diucapkan sangat besar bagi si anak kelak.
Hadits ini menunjukkan disunnahkannya membaca basmalah, keterangan tentang keberkahannya, yang membacanya akan selalu dapat perlindungan Allah dari godaan setan, serta mendapatkan keberkahan dan pertolongan dari segala macam kejelekan. Dan yang lebih penting lagi, hadits ini menerangkan bahwa setan tidak pernah berhenti mengganggu keturunan Adam kecuali mereka yang selalu ingat kepada Allah.
Ø  Pesan utama dari hadits diatas adalah sebelum melakukan hubungan suami istri (sex) itu diharuskan membaca do’a terlebih dahulu supaya kita tidak di ganggu oleh syetan dan membuat kita ingat terus kepada allah swt
Ø  Apakah bias dimubadalahkan ? mengapa? Apa ilatnya?
Kalau kita lihat dari konteks bahasa memang hadits itu hanya untuk laki” aja tetapi kalau yang baca doa hanya si laki” maka syetan akan ganggu si perempuan jadi hadits itu berlaku untuk perempuan juga…  
Ilatnya do’a itu baik jadi segala yang baik bagi kita itu dibolehkan dan harus dilakukan..



HANNY MARHAMATUS S.

Nama : Hanny Marhammatus Sa’diah
NIM : 1415201023
Jurusan/Smtr : AAS “A”/3
كتا ب الطهارة
باب امياة
عن ابى هريرةرضي الله عنه قل: قل رسولوالله صلي الله عليه وسلم,في البحر,هوطهرومؤه,الحل ميتته,اخرخه الاربعه,وابن ابي شيبه,وللفظ له,وصححه ابن خزيمة والترمذي,(ورواه ملك وشفعى واحمد) (1)

Bab Air
Dari abu hurairah radhliyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda : tentang (air) laut. “laut itu air nya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal”. Di keluarkan oleh imam empat dan Ibnu Syaibah lafadz hadist menurut Riwayat Ibnu syaibah dan di anggap shohih oleh Ibnu huzaimah dan tirmidzi. Malik, Syafi ‘i dan ahmad juga meriwayatkannya.
Penjelasan
Hadist ini menjelaskan tentang Air laut jadi air itu Air yang suci, apabila air nya kemasukan bangkai tidak dapat menghilangkan kesuciannya, dan seseungguhnya bangkai yang ada di laut itu Hukumnya Halal, atau yang hidup di laut seluruh hewan yang ada di dalamnya itu halal, seperti: paus, dll terkecuali hewan yang hidup di dua tempat atau dua daratan itu tidak halal.
Takhrijul Hadist Shahih
Telah di Riwayatkan oleh : malik di muwatho’nya (1/45 - tanwirul Hawalik syarah muwath tho’ oleh Syuthi), syafi ‘iy di kitabnya Al-umm (1/16), Ahmad dimusnadnya (2/232,316), Abu dawud (no:83), Tirmidzy (no:69), Nasa’i (1/50,176), Ibnu majah (no:43), Ad darimi (7/186), Ibnu jarud (no:43), Ibnu khuzaimah (no:777), Ibnu hibban (no:119) mawarid, Hakim (1/140-141) dll. Semuanya dari jalan Imam malik dari Sofwan bin sulaim dari Sa’id bin Salamah ia berkata: sesungguhnya Mughirah  bin Abi Burdah telah mengabarkan kepadanya, bahwasannya ia pernah mendengar Abi hurairah berkata:
سال رجل البني صلى الله عليه وسلم: يارسول الله انانركب البحرونحمل معناالقليل من الماءان توضانابه عطشناافنتوضابماءالبحر؟ فقل رسولول الله صلى عليه وسلم:هوطهروماؤه الحال ميتته.

“Telah bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW: ya Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit Air, maka kalau kami berwudhu dengan menggunakan Air tersebut pasti kami akan kehausan, oleh karena itu bolehkah kami berwudhu dengan Air laut? Jawab Rasulullah SAW: laut itu suci air nya dan halal bangkainya”.
Hadist ini telah di Shohihkan oleh Jama ‘ah Hadist, di antaranya :
1.      Bukhari, ia berkata Hadist ini Shohih.
2.      Tirmidzi, ia berkata Hadist ini Hasan Shahih.
3.      Ibnu Huzaimah.
4.      Ibnu hibban.
5.      Hakim.
6.      Ibnu adil bar.
7.      Ibnu Munzir.
8.      Ibnu Mandah.
9.      Al-Baghawiy.
10.  Ibnu Atsir, ia berkata: ini Hadist yang Shahih bagi Masyhur, telah dikeluarkan oleh para Imam di kitab-kitab mereka, dan mereka telah berhujjah dengan rawi-rawinya Tsiqat.
11.  Al-Albani.
Dan bahwasannya Air laut itu suci dan mensucikan, bahwa bangakai binatang laut itu halal. Bolehnya berwudhu dengan Air yang telah bercampur dengan sesuatu sehingga berubah rasanya, atau bau nya atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penanamnya tetap Air, bukan yang telah berubah menjadi Air teh atau kopi dll. Bahwa islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.


Fitriana

Tugas Terstruktur Hadits Ahkam
Kitab Shiyam
(Bulughul Maram)
Hadits No. 671
Nama                        : Fitriana
NIM                          : 1415201021
Jurusan / Semester    : AAS-A / III (Tiga)
Kelompok                  : IV (Empat)

َوَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: ( فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا  لَهُ  ثَلَاثِينَ ) . وَلِلْبُخَارِيِّ: ( فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ ) 
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari."
Kata-Kata Penting : وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Bukhari
Sumber            : Bukhari
Kitab               : Shaum
Bab                  : Disebut ramadhan / bulan ramadhan?
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada saya Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepada saya Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bahwa Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) ". Dan berkata, selainnya dari Al Laits telah menceritakan kepada saya 'Uqail dan Yunus: "Ini maksudnya untuk hilal bulan Ramadhan".

Kajian Sanad

Jalur Sanad ke-1

Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail


Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab


Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab


Uqail bin Khalid bin ‘Uqail


Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman

Yahya bin ‘Abdullah bin Bukair

Jalur Sanad ke-2

Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail


Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab


Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab


Uqail bin Khalid bin ‘Uqail


Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman

Nama tidak diketahui

Jalur Sanad ke-3

Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail


Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab


Muhammad bin Muslim bin ‘Abdullah bin Syihab


Yunus bin Yazid bin Abi An Najjad


Laits bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman

Nama tidak diketahui
Keterangan Sanad:
Jalur Sanad ke-1
  • Nama Lengkap            : Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail
  • Kalangan                     : Shahabat
  • Kuniyah                      : Abu 'Abdur Rahman
  • Negeri semasa hidup   : Madinah
  • Wafat                          : 73 H
ULAMA
KOMENTAR
Ibnu Hajar Al Atsqalani
Shahabat
Adz Dzahabi
Shahabat

  • Nama Lengkap             : Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab
  • Kalangan                     : Tabi'in kalangan pertengahan
  • Kuniyah                       : Abu 'Umar
  • Negeri semasa hidup   : Madinah
  • Wafat                          : 106 H
ULAMA
KOMENTAR
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Muhammad bin Sa'd
Tsiqah
Al 'Ajli
Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Tsabat 'Abid Fadil
Ibnu Hajar al 'Asqalani
salah Satu Ahli fikih yg tujuh

  • Nama Lengkap            : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin
  'Abdullah bin Syihab
  • Kalangan                     : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
  • Kuniyah                      : Abu Bakar
  • Negeri semasa hidup   : Madinah
  • Wafat                         : 124 H

ULAMA
KOMENTAR
Ibnu Hajar al 'Asqalani
faqih hafidz mutqin
Adz Dzahabi
seorang tokoh

  • Nama Lengkap            : Uqail bin Khalid bin 'Uqail
  • Kalangan                     : Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
  • Kuniyah                      : Abu Khalid
  • Negeri semasa hidup   : Syam
  • Wafat                          : 144 H
ULAMA
KOMENTAR
Ahmad bin Hambal
Tsiqah
An Nasa'i
Tsiqah
Abu Zur'ah
shaduuq tsiqah
Abu Hatim
la ba`sa bih
Al 'Ajli
Tsiqah
Al 'Uqaili
Shaduuq
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'Ats Tsiqat

  • Nama Lengkap            : Laits bin Sa'ad bin 'Abdur Rahman
  • Kalangan                     : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
  • Kuniyah                      : Abu Al Harits
  • Negeri semasa hidup   : Maru
  • Wafat                          : 175 H
ULAMA
KOMENTAR
Yahya bin Ma'in
Tsiqah
Ahmad bin Hambal
Tsiqah
Abu Zur'ah
Tsiqah
Muhammad bin Sa'd
Tsiqah
Ibnu Madini
Tsiqah Tsabat

  • Nama Lengkap            : Yahya bin 'Abdullah bin Bukair
  • Kalangan                     : Tabi'ul Atba' kalangan tua
  • Kuniyah                      : Abu Zakariya
  • Negeri semasa hidup   : Maru
  • Wafat                          : 231 H
ULAMA
KOMENTAR
An Nasa'i
dla'if
Ibnu Hibban
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
As Saji
Shaduuq
Al Khalili
Tsiqah
Ibnu Qani'
Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani
Tsiqah
Adz Dzahabi
Hafizh

Hadits Penguat
Sumber            : Muslim
Kitab               : Puasa
Bab                  : Wajibnya puasa ramadhan karena melihat hilal & berbuka karena
  melihat hilal
No. Hadits      : 1799

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata, telah menceritakan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian melihat HIlal, maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (terbit) kembali, maka berbukalah, namun bila ia tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah (bilangan harinya)."

Jumlah Hadist Penguat

No
Imam
Jumlah
1
Ahmad
7
2
Darimi
1
3
Ibnu Majah
2
4
Muslim
3
5
Nasa'i
5
TOTAL
18

Permasalahan Fiqh :
Keadaan dimana pada malam 29 Sya’ban hilal tidak terlihat dikarenakan mendung, awan, asap, atau yang semisalnya sehingga menggenapkan atau menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari disebut dengan istilahikmal.
1.     Pendapat yang mashur dari Iman Ahmad Rahimahullah, beliau berpendapat wajib berpuasa ketika itu dengan keyakinan telah masuk Ramadhan. Beliau juga berhujah dengan hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas dengan lafadz
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
”Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah ”,
Menurut beliau makna “faqduruulah” adalah ”persempitlah” yakni mempersempit bulan Sya’ban cukup dengan 29 hari saja dan keesokan harinya sudah memasuki bulan Ramadhan. Beliau juga berhujah dengan perbuatan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu dan sebagian sahabat yang lain.
2.      Pendapat selanjutnya adalah apabila keadaanya mendung  maka dikembalikan kepada keputusan penguasa atau pemerintah dalam hal puasa dan hari raya.
Argumentasi yang dibawakan oleh pendapat yang pertama ini dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang lainnya, bahwa pengertian ”faqduruulah” ialah dikira-kirakan dalam sisi hisabnya atau hitungan bilangan Syaban yakni digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini dijelaskan dengan riwayat yang sama dari hadis Abdullah bin Umar  Radhiyallahu ‘anhu dan juga dikuatkan dengan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: “Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 672). Adapun yang meraka nukil dari perbuatan sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhumamaka jawabannya ialah mengikuti kaidah bahwa yang dianggap atau yang dijadikan pegangan ialah apa yang diriwayatkan oleh sahabat tadi bukan pendapat sahabat tadi, sebab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan hadis dari Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan makna pendapat jumhur ulama, sedangkan pendapat beliau sendiri pendapatnya tidak sesuai dengan riwayat yang beliau bawakan.
Pendapat jumhur ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, SyaikhulIslam Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahullah, Al Imam Ibnu Abdil HadiRahimahullah, Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, Al Imam As Shon’aniRahimahullah, Al Imam As Syaukani Rahimahullah,  dan lain-lainnya dari kalangan ulama kaum muslimin.

SEPUTAR RU’YATUL HILAL DAN HISAB

Kalau kita lihat di sini tidak ada satu pendapat pun dari pendapat-pendapat yang dsebutkan tadi yang mengatakan kalau terjadi mendung maka dilakukan hisab. Tidak ada satu ulama pun yang menoleh atau membicarakan masalah hisab dalam hal ini melainkan tiga pendapat di atas. Disyariatkan untuk melihat hilal (bulan sabit) untuk menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Ini adalah salah satu prinsip kaum muslimin, salah satu prinsip agama Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini didasarkan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala ,

* * štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?
ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ

"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” [QS. Al Baqarah (2) : 189]
Juga berdasarkan hadis-hadis shahih, di antaranya,
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata:Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Ramadan), maka hendaklah engkau memulai puasa. Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Syawal), maka hendaklah engkau berhenti puasa. Dan apabila tertutup awan, maka hendaklah engkau berpuasa selama 30 hari. (HR. Muslim no. 1808 )
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi (Abul Qasim) bersabda, ‘Berpuasalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari.'” (HR. Bukhari no. 924)
Dari ayat dan hadis-hadis tersebut sangat jelaslah bahwa penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dikaitkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ru’yatul hilal (melihat hilal/bulan sabit). Hal ini tidak hanya disabdakan tetapi juga dipraktikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Abu Dawud, Hakim, dan Ibnu Majah dengan sanad shahih dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengkisahkan,

َ وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Orang-orang melihat hilal, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum. Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban. (Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 673).
Juga hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu,
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sungguh aku telah melihat hilal”. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia berkata: “Ya”. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?” Ia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sedang An Nasa’i menilainya mursal.
Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga diamalkan oleh para sahabat, padahal pada waku itu ilmu perbintangan/ilmu nujun/ilmu falak sangat mashur. Mereka sangat terbiasa menggunakan bintang untuk menunjuk arah termasuk arah kiblat dan yang semisalnya. Namun hal ini (penggunaah ilmu nujum/ilmu hisab) tidak ditoleh sama sekali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau menggunakan cara ru’yatul hilal. Hal ini menunjukkan suatu ketetapan baku dari sunnah (red-perbuatan Rosulullah bukan hukumnya sunah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal menggunakan cara ru’yatul hilal bukan hisab.
Begitu juga dengan para ulama,  meraka menyatakan larangan untuk menggunakan hisab dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.  Diantaranya yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Baari. Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah berkomentar tentang hisab, beliau mengatakan,
”Madzhabnya ahli nujum atau ahli hisab ialah madzhab yang bathil. Syariat islam telah melarang kita untuk berjalan-jalan dalam mempelajari ilmu nujum (ilmu perbintangan)  sebab yang namanya ilmu nujum itu hanyalah praduga (prakiraan) dan tidak ada kepastian di dalamnya.” Ilmu nujum adalah ilmu yang berdasarkan prasangka atau perkiraan saja di mana tidak ada kepastian di dalamnya.
Islam telah melarang kaum muslimin untuk beragama seperti ini sehingga Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah madzhab yang bathil. Al Imam Ibnu Daqiq al-‘Id Rahimahullah, seorang ulama besar dari Mesir pada jamannya, beliau mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi pegangan dalam urusan puasa. Beliau juga mengatakan bahwa mengganggap hisab dalam puasa Ramadhan atau Idul Fitri berarti mengada-adakan syariat baru yang tidak diijinkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Begitu juga dengan imam madzhab yang empat juga kesemuanya menggunakan ru’yatul hilal. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Malik dan Imam Syafi’i Rahimakumullah semuanya sepakat penggunaan metode ru’yatul hilal dan menolak penggunaan metode hisab dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, yang berada di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, mengeluarkan fatwa ketika ditanya tentang masalah hisab. Setelah menjabarkan panjang lebar, pada kesimpulannya mereka mengatakan bahwa merujuk kepada ilmu nujum di dalam menetapkan bulan-bulan hijriah, di dalam menetapkan awal atau akhir ibadah dengan tanpa mengamalkan ru’yatul hilal merupakan kebidahan yang tidak ada kebaikannya sama sekali dan tidak ada sandaran syariatnya sama sekali”.
Syaikh Ibnu Hutsaimin Rahimahullah, Syaikh Al Albani Rahimahullah dan ulama-ulama besar lainnya sekarang ini juga mengatakan dan memfatwakan hal yang sama. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bolehnya menggunakan hisab.

Apa hukumnya menggunakan teropong ketika Ru’yatul hilal?

Untuk masalah ini Lajnah Daimah, juga fatwa Syaikh Ibnu Hutsaimin Rahimahullahmengatakan bahwa menggunakan teropong untuk memperjelas hilal diperbolehkan, akan tetapi tidak wajib sebab dhohir hadis tentang masalah hilal itu dengan mata kepala. Namun kalau menggunakan teropong supaya lebih jelas, maka tidak mengapa karena tidak melanggar. Hal ini termasuk dalam kaidah besar para ulama yaitu bahwa yang namanya wasilah (media atau perantara) tidaklah mengapa.

Perbedaan Pendapat dari Kalangan Ormas Islam
Meskipun memilki dasar yang sama, tetapi penafsiran Ormas Islam bisa berbeda-beda. Seperti :
1)      Dari ahli falakiyah Nahdhatul Ulama (NU). Dalam setiap Sidang Itsbat, mereka selalu bersuara keras dalam menetapi metode Rukyatul Hilal dengan kaidah Imkanur Rukyah (posibilitas melihat hilal). Kalau hilal belum memungkinkan dilihat, berarti tidak ada hilal, meskipun secara hisab hilal sudah dianggap ada. Mereka beralasan dengan kalimat dalam hadits di atas, “Fa in ghumma ‘alaikum” (jika hilal itu terhalang atas kalian oleh awan). Jadi, meskipun hilal itu sudah ada, sudah bisa dilihat, tetapi jika terhalang mata kita untuk melihatnya karena berbagai faktor (misalnya tertutup awan), ya bilangan bulan digenapkan jadi 30 hari. Artinya, menurut kalangan NU adanya hilal itu bukan penentu, melainkan posibilitas dilihatnya hilal-lah yang menjadi patokan.
2)      Dari kalangan Muhammadiyah paling sering (dan konsisten) dengan metode hisab. Tetapi metode ini sendiri tetap mengacu kepada penampakan hilal, sebagaimana acuan umum kalender Hijriyah. Artinya, mereka tetap berpendapat berdasarkan ada tidaknya hilal. Hal itu dianggap tetap selaras dengan hadits Nabi Saw di atas. Dalam hal ini, mereka memulai dan mengakhiri Ramadhan tetap mengacu pada hilal. Hanya saja, bentuknya berupa wujudul hilal (atau eksistensi hilal). Jika hilal sudah eksis, meskipun hanya 0,5 derajat di atas ufuk, ya hal itu sudah dianggap masuk bulan baru (padahal menurut para ahli astronomi nasional dan internasional, hilal pada posisi 4 atau 5 derajat di atas ufuk pun, masih sulit dilihat). Dalam pandangan ini, di masa Nabi Saw sarana-prasarana teknologi masih sederhana, sehingga metodenya dengan Rukyatul Hilal murni. Sebagai catatan, di masa Nabi belum ada sistem kalender. Jika kemudian ada sarana teknologi yang lebih akurat (sistem perhitungan astronomi), mengapa tidak digunakan? Toh, pada dasarnya Islam mengakui adanya metode hisab.
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ  
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S Yunus [10] : 5).
3)      Pandangan yang dianut Departemen Agama RI, yaitu menerapkan dua metode sekaligus, Hisabiyah dan Ru’yatul Hilal. Perhitungan hisab sangat dibutuhkan untuk memastikan bulan Sya’ban sudah berusia 29 hari, sehingga di masa itu ada potensi peralihan ke bulan berikutnya, nah, saat peralihan itulah momen paling tepat untuk melakukan Ru’yatul Hilal. Tanpa hasil hisab, sangat sulit menentukan kapan kita akan melakukan Ru’yatul Hilal. Sementara upaya ru’yah sendiri untuk memastikan apakah sudah masuk bulan Ramadhan / Syawal, atau bulan sebelumnya perlu digenapkan? Dari sini saja sudah bisa dilihat kerumitan perselisihan ini. Apalagi dalam praktiknya, upaya Rukyatul Hilal melibatkan observasi terhadap elemen-elemen alam yang berbeda-beda. Kadang bulan ada di sisi kanan atau kiri matahari; kadang sudut antara bulan dan matahari berbeda-beda; kadang usia hilal berbeda-beda; kadang ketinggian hilal di atas ufuk berbeda, dan seterusnya.
(Jadi sangat simplisit kalau ada yang mengatakan: “Mataharinya satu, bulannya satu, mata kita yang melihat; tetapi kenapa ya kok berbeda-beda hasil penglihatannya? Siapa yang salah? Mata kita atau benda-benda langit yang ada disana?” Perbedaan-perbedaan pandangan seputar penentuan awal Ramadhan dan Syawal ini berdasarkan teori maupun praktik selama ini, dalam skala nasional maupun internasional jika dikumpulkan, ternyata memang, ruang lingkup ikhtilaf dalam hal ini sangatlah rumit. Tidak sesederhana klaim-klaim retorik yang dibangun berbagai pihak selama ini.
Setidaknya disini ada 7 pola perbedaan pandangan, yang nantinya semua itu akan berpengaruh pada penentuan awal dan akhir Ramadhan (atau awal Syawal), yaitu sebagai berikut:
a)      Perbedaan antara golongan Rukyat dan Hisab. Ini adalah perbedaan paling elementer. Satu pihak ada yang berpegang kepada metode hisabiyah (seperti Muhammadiyah), dan ada yang berpegang kepada metode rukyat (seperti NU).
b)      Perbedaan persepsi tentang hilal itu sendiri, antara pihak yang mengacu kepada pedoman Wujudul Hilal (eksistensi hilal) dan Imkanur Ru’yah (mungkin-tidaknya hilal itu bisa dilihat oleh mata). Sebagian kalangan, melalui metode hisabiyah, berpatokan jika hilal sudah ada meskipun hanya 0,5 derajat di atas ufuk, berarti sudah masuk bulan baru. Kalangan lain berpedoman, meskipun hilal secara kalkulasi hisabiyah sudah ada, kalau ia belum bisa dilihat, maka tidak dianggap sudah ada. Seperti kata hikmah, “Wujuduhu ka ‘adamihi” (adanya hilal, seperti tidak adanya saja).
c)      Perbedaan antara metode rukyat lokal (nasional) dan rukyat global. Kalangan Hizbut Tahrir meyakini adanya kaidah rukyat global, makanya mereka sering mengadakan Shalat Idul Adha dengan melihat momen Wukuf di ‘Arafah. Kalangan Pemerintah RI menetapi model rukyat nasional. Sedangkan kawan-kawan Salafi merujuk kepada hadits “Apakah tidak cukup dengan rukyat Muawiyah”. Dengan hadits terakhir, kawan-kawan Salafi berpandangan bahwa kita tidak harus mengikuti Saudi, tetapi setiap negara punya rukyat sendiri-sendiri.

Kalau konsisten dengan hadits “rukyat Muawiyah” itu, mestinya mereka harus melakukan rukyat di setiap provinsi. Mengapa? Karena waktu itu di zaman para Shahabat, sesuai isi hadits tersebut, Madinah punya rukyat sendiri, Syam juga punya rukyat sendiri (rukyat Muawiyah dan masyarakat Syam).

d)     Perbedaan antara mengikuti keputusan pemerintah atau menentukan keputusan sendiri. Muhammadiyah jelas mandiri dan setia dengan hisab-nya. NU, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah, Wahdah Islamiyah, dll. mengikuti ketetapan pemerintah. Pihak yang mengikuti pemerintah berdalil dengan prinsip: “Hukmul qadhi yar’faul khilaf” (keputusan hukum oleh hakim mengangkat segala perselisihan). Bilamana terjadi berbagai perselisihan, maka tempat bermuaranya keputusan akhir, ialah mengikuti keputusan pemerintah. Tapi cara demikian mendapatkan kritik, yaitu ketika metode pemerintah dianggap formalitas, dari tahun ke tahun sama saja; sehingga disimpulkan mereka cenderung mengikuti kalender, dengan mengabaikan Sunnah (Ru’yatul Hilal). Disini keputusan hakim Syariat bisa ditaati, selama tidak mematikan Syariat itu sendiri.
e)      Perbedaan antara mengikuti Arab Saudi atau memutuskan sendiri. Keputusan Pemerintah Saudi sering menjadi patokan. Bukan hanya di Indonesia, di Timur Tengah pun banyak negara-negara disana menanti hasil pengumuman Ru’yatul Hilal pemerintah Saudi. Hizbut Tahrir sendiri melakukan tabanni (adopsi) terhadap hasil keputusan Kerajaan Saudi. Sedangkan kawan-kawan Salafi bersikukuh dengan hadits “Apakah tidak cukup dengan rukyat Muawiyah”; konsekuensinya, mereka mendukung penetapan awal Ramadhan/Syawal sesuai negara masing-masing.
f)       Perbedaan dalam menggunakan metode kombinasi Hisab-Rukyat. Sebagian kelompok meyakini, hisab sebagai pokok metode, sedangkan rukyat sebagai penguat (konfirmasi). Sebagian yang lain meyakini, rukyat sebagai pokok metode, sementara hisab sebagai penguat (konfirmasi). Melalui momen Sidang Itsbat Depag RI, metode yang dipilih ialah yang kedua: rukyat sebagai pedoman pokok, hisab sebagai penjelas. Muhammadiyah menerapkan metode pertama. Apa tidak mungkin memakai rukyat murni, tanpa bantuan hisab sama sekali? Secara ekstrim bisa saja dianggap mungkin, tapi dalam konteks modern hal semacam itu hampir mustahil dilakukan. Para ahli rukyat di dunia, betatapun tidak bisa melepaskan diri dari hasil-hasil perhitungan hisab. “Jadi, tolonglah jangan terlalu sensi,” begitulah ungkapannya.
g)      Perbedaan antara mencukupkan diri dengan metode keagamaan murni atau dengan bantuan teknologi astronomi. Ada dua nama pakar astronomi nasional yang selalu “menjadi langganan media” jika muncul khilaf seputar penentuan awal Ramadhan/Syawal ini, yaitu Prof. Dr. Thomas Djamaluddin dan Dr. Moeji Rahardjo (Kepala Observatorium Boscha Lembang). Kalangan Muslim tradisionalis cenderung berpedoman kepada sarana-sarana ilmu keagamaan murni, sedangkan yang modern bersikap welcome terhadap pemanfaatan sarana teknologi.
KESIMPULAN :
Jadi silang-selisih seputar penentuan awal Ramadhan / Syawal ini begitu komplek, melibatkan banyak unsur-unsur perbedaan. Siapa saja yang melihat masalah ini secara simple, dia akan salah menyimpulkan. Pertanyaannya, mengapa di negara-negara lain seperti Malaysia, Brunei, Saudi, Mesir, dan lainnya mereka lebih mudah bersepakat; sedangkan kita hampir setiap tahun berbeda pendapat terus?
Jawabannya: Yang bisa mengatasi perbedaan ini ialah sikap tegas negara. Hal itu pernah terjadi di masa-masa kita dulu di era Orde Baru. Tetapi syaratnya, negara disini harus kuat dan berwibawa, agar dihargai rakyatnya. Sementara sejak Reformasi 1998, kewibawaan pemerintah RI sudah sangat merosot. Pemerintahan RI seringkali dikalahkan oleh opini media, sikap partai politik, dan sikap independen ormas-ormas. Bagaimana negara akan bersikap tegas di atas ikhtilaf yang rumit, sementara dirinya sendiri tidak berwibawa? Tapi di masa Rasulullah Saw dulu, meskipun sistem tata-negaranya masih sederhana, disana posisi pemerintah begitu kuat, sehingga bisa mengatasi segala perbedaan. Nah itulah, dimana negara berwibawa, keputusan-keputusannya akan ditaati. Kalau negaranya slengehan atau mencla-mencle, siapa yang akan mentaati? Kewibawaan pemerintah sangat penting, kalau para pemimpin politik memahami hal itu.
Lalu, bagaimana sikap ketika dihadapkan pada “rutinitas” perbedaan seputar penentuan awal Ramadhan/Syawal ini?
  1.  Selalu merujuk kepada hasil rukyat hilal (observasi hilal), sesuai Sunnah Nabi Saw dalam hadits di atas. Karena kami belum mampu melakukan rukyat sendiri, otomatis kami menanti hasil rukyat dari pihak-pihak yang kompeten.
  2. Untuk mengawali Ramadhan, rata-rata kami merujuk kepada hasil Sidang Itsbat Departemen Agama RI. Menurut kami, mereka memiliki metode yang kredibel. Tetapi untuk mengakhiri shaum Ramadhan, kami tidak selalu mengikuti hasil Sidang Itsbat Departemen Agama RI (dijelaskan di poin berikutnya).
  3. Untuk mengakhiri shaum Ramadhan, kami seringkali menghitung jumlah puasa yang sudah kami lakukan. Kalau hitungan sudah mencapai 29 hari, kami bersiap-siap membatalkan puasa esok harinya. Dalilnya, sebagian besar puasa Rasulullah Saw dan para Shahabat adalah 29 hari. Untuk memastikan apakah besok kami membatalkan puasa atau tidak, tetap menunggu informasi seputar Rukyatul Hilal.
Kejadian yang sering terjadi, kami sudah puasa 29 hari, lalu Sidang Itsbat Depag RI menentukan puasa digenapkan menjadi 30 hari; lalu ada informasi independen yang mengatakan, bahwa hilal sudah terlihat di daerah tertentu. Jika demikian, maka kami biasanya akan membatalkan shaum pada hari ke-30. Jadi cukup berpuasa 29 hari saja. Mengapa demikian? Karena sudah dikenal di Indonesia, hasil Sidang Itsbat rata-rata nanti akan berujung ISTIKMAL (menggenapkan bulan sebelumnya). Namun jika tidak ada informasi satu pun seputar hasil Rukyat Hilal, kami akhirnya kembali ke keputusan Sidang Itsbat pemerintah.
Dalil yang menjadi acuan kami adalah perkataan AisyahRadhiyallahu ‘Anha, bahwa Nabi Saw jika berhadapan dengan dua perkara yang sama-sama halalnya, beliau memilih perkara yang paling ringan. (Merujuk Riyadhus Shalihin Imam Nawawi, bab “Sikap sederhana dalam ketaatan”). Jika berpuasa 29 hari halal, dan 30 hari juga halal, maka memilih yang lebih ringan dari keduanya lebih sesuai Sunnah Nabi Saw. Tetapi dengan tetap merujuk informasi Rukyatul Hilal, sebab itu patokan utamanya.
  1. Tetap memberikan toleransi dan menghormati saudara-saudara sesama Muslim dan ormas Islam yang berbeda dalam momen Idul Fithri-nya. Kadang, saat kami sudah berbuka, kaum Muslimin lain masih shaum; saat mereka menjalankan Shalat Id, kami sendiri sudah melaksanakan pada hari sebelumnya.

Perbedaan pendapat dalam penentuan awal Ramadhan / Syawal sungguh rumit dan komplek. Unsur-unsur disparitas di dalamnya begitu banyak. Hal seperti ini bisa diatasi, jika pemerintah memiliki wibawa sehingga bisa bersikap tegas. Maksudnya, mereka telah menunaikan hak-hak rakyat dengan baik, lalu wibawa mereka tinggi di mata rakyat; sehingga jika mereka memutuskan sesuatu, rata-rata didukung rakyat.
Sementara kita tahu sendiri, bagaimana keadaan bangsa Indonesia, pasca Reformasi 1998 sampai era Liberalisme saat ini? Jadi, sumber perbedaan itu memang sudah ada pada metodologi ilmiah Hisab-Rukyat; lalu ditambah kelemahan wibawa pemerintah. Itulah yang membuat perselisihan ini terus berlangsung. Tampaknya sangat sulit berharap semua ini akan selesai dan tuntas begitu saja. Potensi perbedaan di masa depan akan senantiasa ada, sebaimana perbedaan itu sudah terjadi sejak zaman ulama-ulama Salaf dulu. Maka kami sangat berharap kaum Muslimin dalam hal ini bersikap bijaksana, yaitu antara lain:
1)      Menyadari bahwa perbedaan ini ada dan nyata, lalu kita ikhlas dengan hal itu. Biarlah Allah Ta’ala yang nanti akan menyelesaikan semua ini, dengan rahmat dan ‘inayah-Nya.
2)      Mengambil sikap untuk memilih pendapat ini atau itu, secara sadar, yaitu dengan dalil-dalil ilmu dan informasi. Dalil ilmu maksudnya ialah ilmu-ilmu Syariat; sedangkan informasi ialah berita seputar perkembangan Rukyatul Hilal.
3)      Bersikap toleran, lapang dada, dan menghormati sesama Muslim yang berbeda pendapat. Tidak menjadikan sikap memilih suatu pendapat sebagai sarana untuk merendahkan atau melecehkan pihak lain.
4)      Berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar kaum Muslimin disatukan di atas Tali Persatuan Ummat. Amin Allahumma amin.

Pendapat Penulis

Dalam penentuan hilal tentu mengalami perbedaan pendapat, terlebih di Indonesia yang sangat rumit perbedaannya, namun walau bagaimanapun tetaplah dikembalikan kepada ketegasan Negara juga. Dan hal ini juga bergantung terhadap keyakinan yang kita miliki, selain itu, kita juga harus bisa memahami suatu perbedaan. Tak ada yang dikatakan “kolot” disini, yang membedakan hanyalah cara dan pandangan dalam menentukan dan melihat hilal. Tapi semua itu, tetaplah bergantung pada keyakinan dan pemahaman kita masing-masing.