Tugas Terstruktur
Hadits Ahkam
Kitab Shiyam
(Bulughul Maram)
Hadits No. 671
Nama : Fitriana
NIM :
1415201021
Jurusan / Semester : AAS-A / III (Tiga)
Kelompok : IV (Empat)
َوَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: (
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ ) . وَلِلْبُخَارِيِّ:
( فَأَكْمِلُوا اَلْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ )
|
Ibnu
Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah,
dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan
menutupi kalian maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat
Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh
hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi
tigapuluh hari."
Kata-Kata Penting : وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Bukhari
Sumber : Bukhari
Kitab : Shaum
Bab : Disebut ramadhan / bulan
ramadhan?
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Bukair berkata, telah menceritakan kepada saya Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu
Syihab berkata, telah mengabarkan kepada saya Salim bin 'Abdullah bin 'Umar
bahwa Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu melihatnya maka
berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila kalian
terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan)
". Dan berkata, selainnya dari Al Laits telah menceritakan kepada saya
'Uqail dan Yunus: "Ini maksudnya untuk hilal bulan Ramadhan".
Kajian Sanad
Jalur Sanad ke-1
Abdullah
bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail
Salim
bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab
Muhammad
bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab
Uqail
bin Khalid bin ‘Uqail
Laits
bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman
Yahya bin ‘Abdullah bin Bukair
Jalur Sanad ke-2
Abdullah
bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail
Salim
bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab
Muhammad
bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab
Uqail
bin Khalid bin ‘Uqail
Laits
bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman
Nama tidak diketahui
Jalur Sanad ke-3
Abdullah
bin ‘Umar bin Al Khaththab bin Nufail
Salim
bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab
Muhammad
bin Muslim bin ‘Abdullah bin Syihab
Yunus bin Yazid bin Abi An Najjad
Laits
bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman
Nama tidak diketahui
Keterangan Sanad:
Jalur Sanad ke-1
- Nama Lengkap : Abdullah bin 'Umar bin Al
Khaththab bin Nufail
- Kalangan : Shahabat
- Kuniyah : Abu 'Abdur Rahman
- Negeri semasa hidup : Madinah
- Wafat : 73 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ibnu Hajar Al Atsqalani
|
Shahabat
|
Adz Dzahabi
|
Shahabat
|
|
- Nama Lengkap : Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Al
Khaththab
- Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan
- Kuniyah :
Abu 'Umar
- Negeri semasa hidup : Madinah
- Wafat : 106 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
|
Muhammad bin Sa'd
|
Tsiqah
|
Al 'Ajli
|
Tsiqah
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
Tsabat 'Abid Fadil
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
salah Satu Ahli fikih yg tujuh
|
- Nama Lengkap : Muhammad bin Muslim bin
'Ubaidillah bin
'Abdullah bin Syihab
- Kalangan :
Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
- Kuniyah : Abu Bakar
- Negeri semasa hidup : Madinah
- Wafat :
124 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
faqih hafidz mutqin
|
Adz Dzahabi
|
seorang tokoh
|
|
- Nama Lengkap :
Uqail bin Khalid bin 'Uqail
- Kalangan :
Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
- Kuniyah :
Abu Khalid
- Negeri semasa hidup :
Syam
- Wafat :
144 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ahmad bin Hambal
|
Tsiqah
|
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
Abu Zur'ah
|
shaduuq tsiqah
|
Abu Hatim
|
la ba`sa bih
|
Al 'Ajli
|
Tsiqah
|
Al 'Uqaili
|
Shaduuq
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam 'Ats Tsiqat
|
- Nama Lengkap :
Laits bin Sa'ad bin 'Abdur Rahman
- Kalangan :
Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
- Kuniyah :
Abu Al Harits
- Negeri semasa hidup :
Maru
- Wafat :
175 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Yahya bin Ma'in
|
Tsiqah
|
Ahmad bin Hambal
|
Tsiqah
|
Abu Zur'ah
|
Tsiqah
|
Muhammad bin Sa'd
|
Tsiqah
|
Ibnu Madini
|
Tsiqah Tsabat
|
- Nama Lengkap :
Yahya bin 'Abdullah bin Bukair
- Kalangan :
Tabi'ul Atba' kalangan tua
- Kuniyah :
Abu Zakariya
- Negeri semasa hidup :
Maru
- Wafat :
231 H
ULAMA
|
KOMENTAR
|
An Nasa'i
|
dla'if
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
|
As Saji
|
Shaduuq
|
Al Khalili
|
Tsiqah
|
Ibnu Qani'
|
Tsiqah
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
Tsiqah
|
Adz Dzahabi
|
Hafizh
|
|
Hadits
Penguat
Sumber : Muslim
Kitab : Puasa
Bab :
Wajibnya puasa ramadhan karena melihat hilal & berbuka karena
melihat hilal
No.
Hadits : 1799
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin
Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus
dari Ibnu Syihab ia berkata, telah menceritakan kepadaku Salim bin Abdullah
bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Saya mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian melihat HIlal, maka
berpuasalah dan jika kalian melihatnya (terbit) kembali, maka berbukalah, namun
bila ia tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah (bilangan
harinya)."
No
|
Imam
|
Jumlah
|
1
|
Ahmad
|
7
|
2
|
Darimi
|
1
|
3
|
Ibnu Majah
|
2
|
4
|
Muslim
|
3
|
5
|
Nasa'i
|
5
|
|
TOTAL
|
18
|
Permasalahan Fiqh
:
Keadaan dimana pada malam 29 Sya’ban hilal tidak
terlihat dikarenakan mendung, awan, asap, atau yang semisalnya sehingga
menggenapkan atau menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari disebut
dengan istilahikmal.
1.
Pendapat yang mashur dari Iman Ahmad Rahimahullah, beliau berpendapat wajib
berpuasa ketika itu dengan keyakinan telah masuk Ramadhan. Beliau juga berhujah
dengan hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhu di atas dengan lafadz
فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
”Jika
awan menutupi kalian maka perkirakanlah ”,
Menurut beliau makna “faqduruulah” adalah
”persempitlah” yakni mempersempit bulan Sya’ban cukup dengan 29 hari saja dan
keesokan harinya sudah memasuki bulan Ramadhan. Beliau juga berhujah dengan
perbuatan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu dan
sebagian sahabat yang lain.
2.
Pendapat selanjutnya adalah apabila keadaanya mendung
maka dikembalikan kepada keputusan penguasa atau pemerintah dalam hal
puasa dan hari raya.
Argumentasi yang dibawakan oleh pendapat yang pertama ini
dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang lainnya, bahwa pengertian ”faqduruulah”
ialah dikira-kirakan dalam sisi hisabnya atau hitungan bilangan Syaban yakni
digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini dijelaskan dengan riwayat yang sama dari
hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhu dan juga dikuatkan dengan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu,
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: “Maka sempurnakanlah hitungan bulan
Sya’ban 30 hari.” (Bulughul
Maram, Kitab Shiyam hadis no. 672). Adapun
yang meraka nukil dari perbuatan sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhumamaka jawabannya ialah
mengikuti kaidah bahwa yang dianggap atau yang dijadikan pegangan ialah apa
yang diriwayatkan oleh sahabat tadi bukan pendapat sahabat tadi, sebab Abdullah
bin Umar Radhiyallahu ‘anhu telah
meriwayatkan hadis dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan makna pendapat jumhur ulama, sedangkan pendapat beliau sendiri
pendapatnya tidak sesuai dengan riwayat yang beliau bawakan.
Pendapat jumhur ini dikuatkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
SyaikhulIslam Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahullah,
Al Imam Ibnu Abdil HadiRahimahullah,
Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah,
Al Imam As Shon’aniRahimahullah,
Al Imam As Syaukani Rahimahullah,
dan lain-lainnya dari kalangan ulama kaum muslimin.
SEPUTAR RU’YATUL HILAL DAN HISAB
Kalau kita lihat di sini tidak ada
satu pendapat pun dari pendapat-pendapat yang dsebutkan tadi yang mengatakan
kalau terjadi mendung maka dilakukan hisab. Tidak ada satu ulama pun yang
menoleh atau membicarakan masalah hisab dalam hal ini melainkan tiga pendapat
di atas. Disyariatkan untuk melihat hilal (bulan sabit) untuk menetapkan 1
Ramadhan dan 1 Syawal. Ini adalah salah satu prinsip kaum muslimin, salah satu
prinsip agama Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini didasarkan dengan ayat Allah Subhanahu
wata’ala ,
* * tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?
ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
"Mereka
bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” [QS. Al Baqarah (2) : 189]
Juga berdasarkan hadis-hadis shahih, di antaranya,
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ
الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,
ia berkata:Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Ramadan), maka hendaklah engkau
memulai puasa. Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Syawal), maka hendaklah
engkau berhenti puasa. Dan apabila tertutup awan, maka hendaklah engkau
berpuasa selama 30 hari. (HR. Muslim no. 1808 )
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Nabi (Abul Qasim) bersabda, ‘Berpuasalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal
satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal 1 Syawal).
Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh
hari.'” (HR. Bukhari no. 924)
Dari ayat dan hadis-hadis tersebut sangat jelaslah bahwa
penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dikaitkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ru’yatul hilal (melihat
hilal/bulan sabit). Hal ini tidak hanya disabdakan tetapi juga dipraktikan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Abu Dawud, Hakim, dan Ibnu Majah dengan
sanad shahih dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhu, beliau mengkisahkan,
َ وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( تَرَاءَى
اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي
رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ ) رَوَاهُ أَبُو
دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata:
Orang-orang melihat hilal, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar
telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum.
Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban. (Bulughul
Maram, Kitab Shiyam hadis no. 673).
Juga hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhu,
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa
ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam,
lalu berkata: “Sungguh aku telah melihat hilal”. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah
engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Ia berkata: “Ya”. Beliau
bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?” Ia
menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar
besok mereka shaum.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban, sedang An Nasa’i menilainya mursal.
Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
juga diamalkan oleh para sahabat, padahal pada waku itu ilmu perbintangan/ilmu
nujun/ilmu falak sangat mashur. Mereka sangat terbiasa menggunakan bintang
untuk menunjuk arah termasuk arah kiblat dan yang semisalnya. Namun hal ini
(penggunaah ilmu nujum/ilmu hisab) tidak ditoleh sama sekali oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
akan tetapi beliau menggunakan cara ru’yatul
hilal. Hal ini menunjukkan suatu ketetapan baku dari sunnah
(red-perbuatan Rosulullah bukan hukumnya sunah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal menggunakan cara ru’yatul hilal bukan hisab.
Begitu juga dengan para ulama,
meraka menyatakan larangan untuk menggunakan hisab dalam penetapan 1
Ramadhan dan 1 Syawal. Diantaranya yang
dikatakan oleh Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah sebagaimana
yang dinukil oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Baari. Al
Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah berkomentar
tentang hisab, beliau mengatakan,
”Madzhabnya ahli nujum atau ahli hisab ialah
madzhab yang bathil. Syariat islam telah melarang kita untuk berjalan-jalan
dalam mempelajari ilmu nujum (ilmu perbintangan) sebab yang namanya ilmu
nujum itu hanyalah praduga (prakiraan) dan tidak ada kepastian di dalamnya.” Ilmu nujum adalah ilmu yang
berdasarkan prasangka atau perkiraan saja di mana tidak ada kepastian di
dalamnya.
Islam telah melarang kaum muslimin
untuk beragama seperti ini sehingga Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah mengatakan
bahwa ini adalah madzhab yang bathil. Al Imam Ibnu Daqiq al-‘Id Rahimahullah, seorang ulama
besar dari Mesir pada jamannya, beliau mengatakan bahwa hisab tidak boleh
menjadi pegangan dalam urusan puasa. Beliau juga mengatakan bahwa mengganggap
hisab dalam puasa Ramadhan atau Idul Fitri berarti mengada-adakan syariat baru
yang tidak diijinkan oleh Allah Subhanahu
wata’ala.
Begitu juga dengan imam madzhab yang
empat juga kesemuanya menggunakan ru’yatul hilal. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad
bin Hambal, Imam Malik dan Imam Syafi’i Rahimakumullah semuanya
sepakat penggunaan metode ru’yatul
hilal dan menolak penggunaan metode hisab dalam penetapan 1
Ramadhan dan 1 Syawal. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, yang berada di Saudi Arabia
yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, mengeluarkan fatwa
ketika ditanya tentang masalah hisab. Setelah menjabarkan panjang lebar, pada
kesimpulannya mereka mengatakan bahwa merujuk kepada ilmu nujum di dalam
menetapkan bulan-bulan hijriah, di dalam menetapkan awal atau akhir ibadah
dengan tanpa mengamalkan ru’yatul
hilal merupakan kebidahan yang tidak ada kebaikannya sama sekali
dan tidak ada sandaran syariatnya sama sekali”.
Syaikh Ibnu Hutsaimin Rahimahullah, Syaikh Al
Albani Rahimahullah dan
ulama-ulama besar lainnya sekarang ini juga mengatakan dan memfatwakan hal yang
sama. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bolehnya menggunakan hisab.
Apa hukumnya menggunakan teropong ketika Ru’yatul hilal?
Untuk masalah ini Lajnah Daimah,
juga fatwa Syaikh Ibnu Hutsaimin Rahimahullahmengatakan
bahwa menggunakan teropong untuk memperjelas hilal diperbolehkan, akan tetapi
tidak wajib sebab dhohir hadis tentang masalah hilal itu dengan mata kepala.
Namun kalau menggunakan teropong supaya lebih jelas, maka tidak mengapa karena
tidak melanggar. Hal ini termasuk dalam kaidah besar para ulama yaitu bahwa
yang namanya wasilah (media atau perantara) tidaklah mengapa.
Perbedaan Pendapat dari Kalangan
Ormas Islam
Meskipun memilki dasar yang sama, tetapi penafsiran Ormas
Islam bisa berbeda-beda. Seperti :
1)
Dari ahli falakiyah Nahdhatul Ulama
(NU). Dalam
setiap Sidang Itsbat, mereka selalu bersuara keras dalam menetapi metode Rukyatul
Hilal dengan kaidah Imkanur Rukyah (posibilitas melihat
hilal). Kalau hilal belum memungkinkan dilihat, berarti tidak ada hilal,
meskipun secara hisab hilal sudah dianggap ada. Mereka beralasan dengan kalimat
dalam hadits di atas, “Fa in ghumma ‘alaikum” (jika hilal itu
terhalang atas kalian oleh awan). Jadi, meskipun hilal itu sudah ada, sudah
bisa dilihat, tetapi jika terhalang mata kita untuk melihatnya karena berbagai
faktor (misalnya tertutup awan), ya bilangan bulan digenapkan jadi 30 hari.
Artinya, menurut kalangan NU adanya hilal itu bukan penentu, melainkan posibilitas
dilihatnya hilal-lah yang menjadi patokan.
2)
Dari kalangan Muhammadiyah paling sering (dan konsisten)
dengan metode hisab. Tetapi metode ini sendiri tetap mengacu kepada penampakan
hilal, sebagaimana acuan umum kalender Hijriyah. Artinya, mereka tetap
berpendapat berdasarkan ada tidaknya hilal. Hal itu dianggap tetap selaras
dengan hadits Nabi Saw di atas. Dalam hal ini, mereka memulai dan mengakhiri
Ramadhan tetap mengacu pada hilal. Hanya saja, bentuknya berupa wujudul
hilal (atau eksistensi hilal). Jika hilal sudah eksis, meskipun hanya
0,5 derajat di atas ufuk, ya hal itu sudah dianggap masuk bulan baru (padahal
menurut para ahli astronomi nasional dan internasional, hilal pada posisi 4
atau 5 derajat di atas ufuk pun, masih sulit dilihat). Dalam pandangan ini, di
masa Nabi Saw sarana-prasarana teknologi masih sederhana, sehingga metodenya
dengan Rukyatul Hilal murni. Sebagai catatan, di masa Nabi belum ada sistem
kalender. Jika kemudian ada sarana teknologi yang lebih akurat (sistem
perhitungan astronomi), mengapa tidak digunakan? Toh, pada dasarnya Islam
mengakui adanya metode hisab.
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
“Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.” (Q.S Yunus [10] : 5).
3)
Pandangan yang dianut Departemen Agama RI, yaitu menerapkan
dua metode sekaligus, Hisabiyah dan Ru’yatul Hilal.
Perhitungan hisab sangat dibutuhkan untuk memastikan bulan Sya’ban sudah
berusia 29 hari, sehingga di masa itu ada potensi peralihan ke bulan
berikutnya, nah, saat peralihan itulah momen paling tepat untuk melakukan
Ru’yatul Hilal. Tanpa hasil hisab, sangat sulit menentukan kapan kita akan
melakukan Ru’yatul Hilal. Sementara upaya ru’yah sendiri untuk memastikan
apakah sudah masuk bulan Ramadhan / Syawal, atau bulan sebelumnya perlu
digenapkan? Dari sini saja sudah bisa dilihat kerumitan perselisihan ini.
Apalagi dalam praktiknya, upaya Rukyatul Hilal melibatkan observasi terhadap
elemen-elemen alam yang berbeda-beda. Kadang bulan ada di sisi kanan atau kiri
matahari; kadang sudut antara bulan dan matahari berbeda-beda; kadang usia
hilal berbeda-beda; kadang ketinggian hilal di atas ufuk berbeda, dan seterusnya.
(Jadi sangat simplisit kalau ada yang
mengatakan: “Mataharinya satu, bulannya satu, mata kita yang melihat; tetapi
kenapa ya kok berbeda-beda hasil penglihatannya? Siapa yang salah? Mata kita
atau benda-benda langit yang ada disana?” Perbedaan-perbedaan pandangan seputar
penentuan awal Ramadhan dan Syawal ini berdasarkan teori maupun praktik selama
ini, dalam skala nasional maupun internasional jika dikumpulkan, ternyata
memang, ruang lingkup ikhtilaf dalam hal ini sangatlah rumit. Tidak sesederhana
klaim-klaim retorik yang dibangun berbagai pihak selama ini.
Setidaknya disini ada 7 pola perbedaan pandangan, yang
nantinya semua itu akan berpengaruh pada penentuan awal dan akhir Ramadhan
(atau awal Syawal), yaitu sebagai berikut:
a)
Perbedaan antara golongan Rukyat dan Hisab. Ini adalah perbedaan paling
elementer. Satu pihak ada yang berpegang kepada metode hisabiyah (seperti
Muhammadiyah), dan ada yang berpegang kepada metode rukyat (seperti NU).
b)
Perbedaan persepsi tentang hilal itu sendiri, antara pihak
yang mengacu kepada pedoman Wujudul Hilal (eksistensi hilal)
dan Imkanur Ru’yah (mungkin-tidaknya hilal itu bisa dilihat
oleh mata). Sebagian
kalangan, melalui metode hisabiyah, berpatokan jika hilal sudah ada meskipun
hanya 0,5 derajat di atas ufuk, berarti sudah masuk bulan baru. Kalangan lain
berpedoman, meskipun hilal secara kalkulasi hisabiyah sudah ada, kalau ia belum
bisa dilihat, maka tidak dianggap sudah ada. Seperti kata hikmah, “Wujuduhu
ka ‘adamihi” (adanya hilal, seperti tidak adanya saja).
c)
Perbedaan antara metode rukyat lokal (nasional) dan rukyat
global. Kalangan Hizbut Tahrir meyakini adanya kaidah rukyat global,
makanya mereka sering mengadakan Shalat Idul Adha dengan melihat momen Wukuf di
‘Arafah. Kalangan Pemerintah RI menetapi model rukyat nasional. Sedangkan
kawan-kawan Salafi merujuk kepada hadits “Apakah tidak cukup dengan rukyat
Muawiyah”. Dengan hadits terakhir, kawan-kawan Salafi berpandangan bahwa kita
tidak harus mengikuti Saudi, tetapi setiap negara punya rukyat sendiri-sendiri.
Kalau konsisten dengan hadits
“rukyat Muawiyah” itu, mestinya mereka harus melakukan rukyat di setiap
provinsi. Mengapa? Karena waktu itu di zaman para Shahabat, sesuai isi hadits
tersebut, Madinah punya rukyat sendiri, Syam juga punya rukyat sendiri (rukyat
Muawiyah dan masyarakat Syam).
d)
Perbedaan antara mengikuti keputusan pemerintah atau
menentukan keputusan sendiri. Muhammadiyah jelas mandiri dan setia dengan hisab-nya. NU,
Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah, Wahdah Islamiyah, dll. mengikuti ketetapan
pemerintah. Pihak yang mengikuti pemerintah berdalil dengan prinsip: “Hukmul
qadhi yar’faul khilaf” (keputusan hukum oleh hakim mengangkat segala
perselisihan). Bilamana terjadi berbagai perselisihan, maka tempat bermuaranya
keputusan akhir, ialah mengikuti keputusan pemerintah. Tapi cara demikian
mendapatkan kritik, yaitu ketika metode pemerintah dianggap formalitas, dari
tahun ke tahun sama saja; sehingga disimpulkan mereka cenderung mengikuti
kalender, dengan mengabaikan Sunnah (Ru’yatul Hilal). Disini keputusan hakim
Syariat bisa ditaati, selama tidak mematikan Syariat itu sendiri.
e)
Perbedaan antara mengikuti Arab Saudi atau memutuskan
sendiri. Keputusan
Pemerintah Saudi sering menjadi patokan. Bukan hanya di Indonesia, di Timur
Tengah pun banyak negara-negara disana menanti hasil pengumuman Ru’yatul
Hilal pemerintah Saudi. Hizbut Tahrir sendiri melakukan tabanni (adopsi)
terhadap hasil keputusan Kerajaan Saudi. Sedangkan kawan-kawan Salafi
bersikukuh dengan hadits “Apakah tidak cukup dengan rukyat Muawiyah”;
konsekuensinya, mereka mendukung penetapan awal Ramadhan/Syawal sesuai negara
masing-masing.
f)
Perbedaan dalam menggunakan metode kombinasi Hisab-Rukyat. Sebagian kelompok meyakini, hisab
sebagai pokok metode, sedangkan rukyat sebagai penguat (konfirmasi). Sebagian
yang lain meyakini, rukyat sebagai pokok metode, sementara hisab sebagai
penguat (konfirmasi). Melalui momen Sidang Itsbat Depag RI, metode yang dipilih
ialah yang kedua: rukyat sebagai pedoman pokok, hisab sebagai penjelas.
Muhammadiyah menerapkan metode pertama. Apa tidak mungkin memakai rukyat murni,
tanpa bantuan hisab sama sekali? Secara ekstrim bisa saja dianggap mungkin,
tapi dalam konteks modern hal semacam itu hampir mustahil dilakukan. Para ahli
rukyat di dunia, betatapun tidak bisa melepaskan diri dari hasil-hasil
perhitungan hisab. “Jadi, tolonglah jangan terlalu sensi,” begitulah
ungkapannya.
g)
Perbedaan antara mencukupkan diri dengan metode keagamaan
murni atau dengan bantuan teknologi astronomi. Ada dua nama pakar astronomi nasional yang selalu “menjadi
langganan media” jika muncul khilaf seputar penentuan awal Ramadhan/Syawal ini,
yaitu Prof. Dr. Thomas Djamaluddin dan Dr. Moeji Rahardjo (Kepala Observatorium
Boscha Lembang). Kalangan Muslim tradisionalis cenderung berpedoman kepada
sarana-sarana ilmu keagamaan murni, sedangkan yang modern bersikap welcome terhadap
pemanfaatan sarana teknologi.
KESIMPULAN :
Jadi silang-selisih seputar penentuan awal Ramadhan / Syawal
ini begitu komplek, melibatkan banyak unsur-unsur perbedaan. Siapa saja yang
melihat masalah ini secara simple, dia akan salah menyimpulkan. Pertanyaannya,
mengapa di negara-negara lain seperti Malaysia, Brunei, Saudi, Mesir, dan
lainnya mereka lebih mudah bersepakat; sedangkan kita hampir setiap tahun
berbeda pendapat terus?
Jawabannya: Yang bisa mengatasi perbedaan ini
ialah sikap tegas negara. Hal itu pernah terjadi di masa-masa kita
dulu di era Orde Baru. Tetapi syaratnya, negara disini harus kuat dan
berwibawa, agar dihargai rakyatnya. Sementara sejak Reformasi 1998, kewibawaan
pemerintah RI sudah sangat merosot. Pemerintahan RI seringkali dikalahkan oleh
opini media, sikap partai politik, dan sikap independen ormas-ormas. Bagaimana
negara akan bersikap tegas di atas ikhtilaf yang rumit, sementara dirinya
sendiri tidak berwibawa? Tapi di masa Rasulullah Saw dulu, meskipun sistem
tata-negaranya masih sederhana, disana posisi pemerintah begitu kuat, sehingga
bisa mengatasi segala perbedaan. Nah itulah, dimana negara berwibawa, keputusan-keputusannya
akan ditaati. Kalau negaranya slengehan atau mencla-mencle,
siapa yang akan mentaati? Kewibawaan pemerintah sangat penting, kalau para pemimpin
politik memahami hal itu.
Lalu, bagaimana sikap ketika dihadapkan pada “rutinitas”
perbedaan seputar penentuan awal Ramadhan/Syawal ini?
- Selalu merujuk kepada hasil rukyat hilal
(observasi hilal), sesuai Sunnah Nabi Saw dalam hadits di atas. Karena
kami belum mampu melakukan rukyat sendiri, otomatis kami menanti hasil
rukyat dari pihak-pihak yang kompeten.
- Untuk mengawali Ramadhan, rata-rata
kami merujuk kepada hasil Sidang Itsbat Departemen Agama RI. Menurut kami,
mereka memiliki metode yang kredibel. Tetapi untuk mengakhiri shaum
Ramadhan, kami tidak selalu mengikuti hasil Sidang Itsbat Departemen Agama
RI (dijelaskan di poin berikutnya).
- Untuk mengakhiri shaum
Ramadhan, kami seringkali menghitung jumlah puasa yang sudah kami lakukan.
Kalau hitungan sudah mencapai 29 hari, kami bersiap-siap membatalkan puasa
esok harinya. Dalilnya, sebagian besar puasa Rasulullah Saw dan para
Shahabat adalah 29 hari. Untuk memastikan apakah besok kami membatalkan
puasa atau tidak, tetap menunggu informasi seputar Rukyatul Hilal.
Kejadian yang sering terjadi, kami
sudah puasa 29 hari, lalu Sidang Itsbat Depag RI menentukan puasa digenapkan
menjadi 30 hari; lalu ada informasi independen yang mengatakan, bahwa hilal
sudah terlihat di daerah tertentu. Jika demikian, maka kami biasanya akan
membatalkan shaum pada hari ke-30. Jadi cukup berpuasa 29 hari saja. Mengapa
demikian? Karena sudah dikenal di Indonesia, hasil Sidang Itsbat rata-rata
nanti akan berujung ISTIKMAL (menggenapkan bulan sebelumnya). Namun jika tidak
ada informasi satu pun seputar hasil Rukyat Hilal, kami akhirnya kembali ke
keputusan Sidang Itsbat pemerintah.
Dalil yang menjadi acuan kami adalah
perkataan AisyahRadhiyallahu ‘Anha, bahwa Nabi Saw jika berhadapan
dengan dua perkara yang sama-sama halalnya, beliau memilih perkara yang paling
ringan. (Merujuk Riyadhus Shalihin Imam Nawawi, bab “Sikap
sederhana dalam ketaatan”). Jika berpuasa 29 hari halal, dan 30 hari juga
halal, maka memilih yang lebih ringan dari keduanya lebih sesuai Sunnah Nabi
Saw. Tetapi dengan tetap merujuk informasi Rukyatul Hilal, sebab itu patokan
utamanya.
- Tetap memberikan toleransi dan
menghormati saudara-saudara sesama Muslim dan ormas Islam yang berbeda
dalam momen Idul Fithri-nya. Kadang, saat kami sudah berbuka, kaum
Muslimin lain masih shaum; saat mereka menjalankan Shalat Id, kami sendiri
sudah melaksanakan pada hari sebelumnya.
Perbedaan pendapat dalam penentuan awal Ramadhan / Syawal
sungguh rumit dan komplek. Unsur-unsur disparitas di dalamnya begitu banyak.
Hal seperti ini bisa diatasi, jika pemerintah memiliki wibawa sehingga bisa
bersikap tegas. Maksudnya, mereka telah menunaikan hak-hak rakyat dengan baik,
lalu wibawa mereka tinggi di mata rakyat; sehingga jika mereka memutuskan
sesuatu, rata-rata didukung rakyat.
Sementara kita tahu sendiri, bagaimana keadaan bangsa
Indonesia, pasca Reformasi 1998 sampai era Liberalisme saat ini? Jadi, sumber
perbedaan itu memang sudah ada pada metodologi ilmiah Hisab-Rukyat; lalu
ditambah kelemahan wibawa pemerintah. Itulah yang membuat perselisihan ini
terus berlangsung. Tampaknya sangat sulit berharap semua ini akan selesai dan
tuntas begitu saja. Potensi perbedaan di masa depan akan senantiasa ada,
sebaimana perbedaan itu sudah terjadi sejak zaman ulama-ulama Salaf dulu. Maka
kami sangat berharap kaum Muslimin dalam hal ini bersikap bijaksana, yaitu
antara lain:
1)
Menyadari bahwa perbedaan ini ada dan nyata, lalu kita
ikhlas dengan hal itu. Biarlah Allah Ta’ala yang nanti akan menyelesaikan semua
ini, dengan rahmat dan ‘inayah-Nya.
2)
Mengambil sikap untuk memilih pendapat ini atau itu, secara
sadar, yaitu dengan dalil-dalil ilmu dan informasi. Dalil ilmu maksudnya ialah
ilmu-ilmu Syariat; sedangkan informasi ialah berita seputar perkembangan
Rukyatul Hilal.
3)
Bersikap toleran, lapang dada, dan menghormati sesama Muslim
yang berbeda pendapat. Tidak menjadikan sikap memilih suatu pendapat sebagai sarana
untuk merendahkan atau melecehkan pihak lain.
4)
Berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar kaum Muslimin
disatukan di atas Tali Persatuan Ummat. Amin Allahumma amin.
Pendapat Penulis
Dalam penentuan hilal tentu mengalami perbedaan
pendapat, terlebih di Indonesia yang sangat rumit perbedaannya, namun walau
bagaimanapun tetaplah dikembalikan kepada ketegasan Negara juga. Dan hal ini
juga bergantung terhadap keyakinan yang kita miliki, selain itu, kita juga
harus bisa memahami suatu perbedaan. Tak ada yang dikatakan “kolot” disini,
yang membedakan hanyalah cara dan pandangan dalam menentukan dan melihat hilal.
Tapi semua itu, tetaplah bergantung pada keyakinan dan pemahaman kita
masing-masing.